“Tuhan Maha Tahu Tapi Dia Menunggu”, short story by Leo Tolstoy

Di kota Vladimir hiduplah seorang saudagar muda yang bernama Ivan Dimitrich Aksionov. Ia memiliki sebuah rumah dan dua buah toko.

Aksionov adalah seorang pria tampan berambut pirang keriting, penuh canda dan gemar menyanyi. Ketika masih sangat muda ia suka minum‑minum dan bikin ribut kalau mabuk. Tapi setelah menikah ia pun berhenti minum, kecuali sesekali saja.

Pada suatu musim panas Aksionov akan berangkat ke Pasar Malam Nizhny, dan ketika berpamitan dengan keluarganya, istri­nya berkata, “Ivan Dimitrich, jangan berangkat hari ini. Aku telah bermimpi buruk tentangmu.”

Aksionov tertawa dan menyahut, “Kau khawatir kalau sesampainya di sana nanti, aku akan berfoya‑foya.”

Istrinya menjawab, “Aku tak tahu apa yang kukhawatirkan, yang kutahu hanyalah bahwa aku telah bermimpi buruk. Dalam mimpi itu kulihat setelah kau pulang dari kota dan membuka topi, seluruh rambutmu telah ubanan.”

Aksionov tertawa. “Itu pertanda baik,” ujarnya. “Lihat kalau sampai aku tidak menjual habis semua barang‑barangku, dan membawakanmu oleh‑oleh dari sana.”

Maka iapun berpamitan kepada keluarganya dan berangkat dengan kereta kudanya.

Ketika baru setengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang saudagar kenalannya, dan merekapun menginap di losmen yang sama malam itu. Mereka menikmati teh bersama dan setelah itu berangkat ke tempat tidur di ruang yang bersebelahan.

Bukanlah kebiasaan Aksionov untuk tidur sampai larut, dan karena ingin berangkat ketika hari masih dingin, ia mem­bangunkan kusirnya sebelum fajar dan menyuruhnya menyiapkan kuda. Kemudian ia pergi ke tempat pemilik losmen yang tinggal di sebuah pondok di belakang, membayar sewanya dan melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan kira‑kira sejauh dua puluh lima mil, ia menyuruh berhenti untuk memberi makan kuda. Aksionov beristi­rahat sejenak di gang losmen, lalu ia beranjak ke serambi depan dan sambil menyuruh untuk memanaskan samovar, iapun mengeluarkan gitarnya dan mulai memainkannya.

Tiba‑tiba sebuah troika mendekat dengan bunyi lonceng yang bergemerincing, seorang perwira turun diikuti oleh dua orang prajurit. Ia mendatangi Aksionov dan mulai menanyainya, tentang siapa dia dan kapan dia datang. Aksionov menjawab semua pertanyaannya, dan berkata,”Bersediakah Anda minum teh bersama saya?” Tapi sang perwira tetap meneruskan menanyainya.

“Di mana Anda menginap tadi malam? Apakah Anda sendirian ataukah bersama seorang saudagar yang lain? Apakah Anda ber­jumpa dengan seorang saudagar yang lain pagi ini? Kenapa Anda tinggalkan losmen itu sebelum fajar?”

Aksionov heran kenapa ia ditanyai dengan semua perta­nyaan itu, namun iapun menceritakan juga semua yang telah dialaminya, lalu menambahkan, “Kenapa Anda menanyai saya berulang‑ulang begitu seakan‑akan saya ini seorang pencuri atau perampok saja? Saya sedang dalam perjalanan bisnis, dan tidak perlu menginterogasi seperti itu.”

Kemudian sang perwira sambil memanggil para prajurit berkata, “Saya adalah perwira polisi di distrik ini, dan saya menanyai Anda karena saudagar yang menginap bersama Anda semalam telah ditemukan dalam keadaan tewas dengan leher tergorok. Kami harus memeriksa barang‑barang Anda.”

Merekapun memasuki rumah. Para prajurit dan perwira polisi tadi membuka kopor‑kopor Aksionov dan menggeledahnya. Tiba‑tiba sang perwira menarik sebilah pisau dari sebuah tas sambil berseru, “Pisau siapa ini?” Aksionov yang melihat sebilah pisau bernoda darah ditarik dari tasnya menjadi takut.

“Bagaimana ada darah di pisau ini?”

Aksionov berusaha menjawab namun dengan susah payah hanya mampu berucap dengan terbata‑bata:

“A‑ku ti‑dak ta‑hu. Bu‑kan mi‑lik‑ku.”

Kemudian sang perwira polisi berkata, “Pagi ini saudagar itu ditemukan di atas ranjang dengan leher tergorok. Andalah satu‑satunya orang yang dapat melakukannya. Rumah itu dikunci dari dalam dan tak ada orang lain di sana. Pisau bernoda darah ini berada di dalam tas Anda, lagi pula sudah jelas kelihatan dari wajah dan sikap Anda! Katakan bagaimana Anda membunuhnya, dan berapa banyak uang yang Anda curi?”

Aksionov bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan hal itu. Dia tidak berjumpa lagi dengan saudagar itu sejak mereka usai minum teh bersama, dia tidak punya uang selain delapan ribu rubel miliknya sendiri, dan bahwa pisau itu bukan milik­nya. Tapi suaranya pecah, wajahnya pucat, dan dia pun gemetar ketakutan seakan‑akan memang bersalah.

Sang perwira polisi memerintahkan anak buahnya untuk mengikat Aksionov dan memasukkannya ke dalam kereta. Ketika mereka mengikat kedua kakinya jadi satu dan menghempaskannya ke dalam kereta, Aksionov berdoa dengan membuat isyarat tanda salib dengan tangannya dan menangis. Uang dan barang‑barangnya disita, ia dikirim ke kota terdekat dan ditahan di sana. Penyelidikan tentang diri­nya dilakukan di Vladimir. Para saudagar dan penduduk lain di kota itu mengatakan bahwa dulunya ia memang suka minum‑minum dan membuang‑buang waktu percuma, namun dia adalah orang baik. Kemudian sidang pengadilanpun digelar: ia dituduh telah membu­nuh seorang saudagar dari Ryazan dan merampoknya sebanyak dua puluh ribu rubel.

Istrinya putus asa dan tidak tahu apa yang harus dipercaya. Anak‑anaknya masih kecil, yang seorang malah masih menyusu. Sambil membawa mereka semua, ia berangkat ke kota di mana suaminya ditahan. Mulanya ia tidak diijinkan menjumpai suami­nya, namun setelah memohon dengan amat sangat, iapun mendapat­kan ijin dari para pejabat dan diantar menemui suaminya. Ketika melihat suaminya memakai seragam tahanan dan dirantai, dikurung bersama para pencuri dan penjahat—wanitu itupun jatuh pingsan dan tidak sadar‑sadar sampai beberapa lama. Setelah siuman ia menarik anak‑anaknya ke dirinya dan duduk di samping suaminya. Diceritakannya tentang keadaan di rumah, dan menanyakan apa yang menimpa suaminya. Pria itupun menceritakan semuanya. Lalu sang istri bertanya, “Apa yang dapat kita per­buat sekarang?”

“Kita harus mengajukan permohonan kepada Tsar agar tidak membiarkan orang yang tidak bersalah binasa.”

Istrinya mengatakan bahwa ia telah mengajukan permohonan itu kepada Tsar, tapi tidak dikabulkan. Aksionov tidak menja­wab namun hanya tampak putus asa.

Kemudian istrinya berkata, “Ternyata bukan tak ada artinya aku dulu bermimpi rambutmu ubanan. Masih ingatkah? Seharusnya kau tidak berangkat pada hari itu”. Dan sambil membelai rambut suaminya iapun berkata, “Vanya, sayang, kata­kanlah yang sejujurnya kepada istrimu ini. Apakah memang bukan kau yang melakukannya?”

“Jadi kaupun mencurigaiku!” sahut Aksionov, dan sambil membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan, iapun menangis. Lalu datanglah seorang prajurit yang mengatakan bahwa sang istri dan anak‑anaknya harus pergi. Aksionovpun mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya untuk yang terakhir kali­nya.

Ketika mereka telah pergi, Aksionov mengingat‑ingat percakapan tadi, dan ketika terkenang bahwa istrinyapun ikut mencurigainya, ia berkata pada dirinya, “Tampaknya hanya Tuhan saja yang tahu kebenaran ini, hanya kepada‑Nya kita berdoa dan minta ampun.”

Dan Aksionovpun tidak lagi mengajukan petisi dan berha­rap banyak, ia hanya berdoa kepada Tuhan.

Aksionov dijatuhi hukuman cambuk dan dikirim ke pertam­bangan. Iapun dicambuk dengan cemeti, dan setelah luka‑luka cambukan itu sembuh, ia dibawa ke Siberia bersama para pekerja paksa lainnya.

Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai seorang pekerja paksa di Siberia. Rambutnya berubah menjadi seputih salju, janggutnyapun tumbuh panjang, tipis, berwarna abu‑abu. Semua keceriaannya punah, ia selalu menunduk, berja­lan perlahan, sedikit bicara, dan tak pernah tertawa, namun sering berdoa.

Di dalam penjara Aksionov belajar membuat sepatu boot, dan memperoleh sedikit uang yang dibelikannya buku Kehidupan Orang‑Orang Saleh. Ia membaca buku itu ketika terdapat cukup cahaya di dalam penjara. Dan setiap hari Ahad di dalam gereja penjara ia membaca pelajaran‑pelajaran serta ikut menyanyi dalam paduan suara karena suaranya masih bagus.

Para pejabat penjara menyukai Aksionov karena kepatuhan­nya, dan teman‑teman sesama napi pun menghormatinya. Mereka menjulukinya dengan sebutan “Kakek” dan “Orang Saleh”. Kalau mereka ingin mengajukan permohonan kepada para pejabat penjara tentang hal apa saja, mereka selalu mengangkat Aksionov seba­gai juru bicaranya. Dan manakala terjadi keributan di antara sesama napi, mereka datang kepadanya untuk memutuskan perkara yang benar.

Tak ada berita yang sampai kepada Aksionov dari rumah­nya, bahkan iapun tak tahu apakah istri dan anak‑anaknya masih hidup.

Suatu hari sekelompok tahanan kerja paksa baru didatang­kan ke penjara. Sorenya, para napi lama mengerumuni rekan‑rekannya yang baru itu dan menanyai mereka: dari kota atau desa mana saja mereka berasal dan dihukum karena perbuatan apa. Di tengah‑tengah istirahat, Aksionov duduk di dekat para pendatang baru itu dan ikut mendengarkan dengan roman muka putus asa atas apa yang diucapkan.

Salah seorang di antara pekerja paksa baru itu adalah seorang pria berumur enam puluh tahunan berperawakan tinggi kekar dan berjenggot lebat terpangkas rapi, ia sedang berceri­ta kepada yang lainnya kenapa dirinya ditahan.

“Baiklah, teman‑teman,” ujarnya, “aku hanya mengambil seekor kuda yang sedang diikat di pengeretan. Lalu aku ditahan dan dituduh atas pencurian. Telah kukatakan bahwa aku mengam­bilnya supaya bisa cepat pulang ke rumah, kemudian melepasnya pergi. Lagi pula, pengendaranya adalah temanku sendiri. Dengan demikian aku bilang, ‘Itu tidak apa‑apa’. Tapi mereka mengata­kan, ‘Tidak. Kau telah mencurinya’. Tapi bagaimana dan kapan aku mencurinya mereka tak dapat menunjukkannya. Dulu, pernah sekali aku memang sungguh‑sungguh berbuat salah, dan seharus­nya berdasar hukum sudah berada di sini sejak lama, tapi ketika itu aku tidak tertangkap. Kini aku dikirim kemari tanpa alasan sama sekali…. Eh, tapi itu cuma bohong yang kucerita­kan kepada kalian. Aku pernah ke Siberia sebelumnya namun tidak tinggal lama.”

“Dari mana asalmu?” tanya seseorang.

“Dari Vladimir. Keluargaku berasal dari kota itu. Namaku Makar, dan mereka juga memanggilku Semyonich.”

Aksionov mengangkat kepalanya dan berkata, “Katakan padaku, Semyonich, apakah kau tahu sesuatu tentang keluarga saudagar Aksionov dari Vladimir? Apakah mereka masih hidup?”

“Tahu tentang mereka? Tentu saja. Keluarga Aksionov kaya, meskipun ayah mereka berada di Siberia, tampaknya seo­rang pendosa juga seperti kita! Lalu bagaimana dengan Anda sendiri, Kek? Bagaimana Anda bisa sampai di tempat ini?”

Aksionov tidak ingin menceritakan kemalangannya. Ia hanya mendesah dan berkata, “Karena dosa‑dosaku maka aku berada di dalam penjara selama dua puluh enam tahun ini.”

“Dosa‑dosa apa?” tanya Makar Semyonich.

Namun Aksionov hanya berkata, “Yah… aku memang layak mendapatkannya!”

Ia tak ingin berkata lebih banyak, namun teman‑temannya memberitahukan kepada para pendatang baru itu bagaimana Aksio­nov bisa sampai ke Siberia. Bagaimana seseorang telah membunuh seorang saudagar, lalu menyelipkan pisaunya ke dalam barang‑barang Aksionov, dan Aksionovpun secara tidak adil telah dijatuhi hukuman.

Ketika Makar Semyonich mendengar semua ini, ia meman­dangi Aksionov, dan berseru sambil menepuk‑nepuk lututnya sendiri, “Wow, sungguh luar biasa! Sangat luar biasa! Tapi betapa cepatnya kau menjadi tua, Kek!”

Yang lainnyapun menanyainya kenapa ia begitu terkejut, dan di manakah ia pernah melihat Aksionov sebelumnya, namun Makar Semyonich tidak memberikan jawaban. Ia hanya berkata, “Ini luar biasa bahwa kita akan bertemu di sini, hai budak‑budak!”

Kata‑kata ini membuat Aksionov bertanya‑tanya apakah pria ini tahu siapa sesungguhnya yang dulu membunuh sang saudagar, maka iapun berkata, “Semyonich, barangkali kau pernah mendengar kejadian itu, atau mungkin kau pernah meli­hatku sebelum ini?”

“Apakah aku pernah mendengarnya? Dunia ini penuh dengan desas‑desus. Tapi peristiwa itu sudah lama sekali dulu, dan aku telah lupa apa yang kudengar.”

“Barangkali kau pernah mendengar siapa yang membunuh saudagar itu?” tanya Aksionov.

Makar Semyonich tertawa dan menjawab, “Dia itu pastilah orang yang di dalam tasnya ditemukan pisau tersebut! Kalaulah  ada orang lain yang meletakkannya di sana, maka ada ungkapan: ‘Dia bukan pencuri sampai tertangkap’, bagaimana ada orang yang bisa meletakkan sebilah pisau di dalam tasmu yang berada di bawah kepalamu? Pastilah akan membuatmu terbangun.”

Ketika Aksionov mendengar kata‑kata ini, ia merasa yakin bahwa orang inilah yang telah membunuh saudagar itu. Iapun bangkit dan pergi. Sepanjang malam itu Aksionov terbaring dalam keadaan jaga. Dia merasa sangat sedih, dan berbagai bayangan muncul di benaknya. Ada bayangan istrinya saat ia meninggalkannya untuk pergi ke pasar malam. Dia melihat wanita itu seakan‑akan hadir: wajah dan matanya muncul di hadapannya, ia mendengar bicara dan tawanya. Lalu ia melihat anak‑anaknya, masih kecil‑kecil ketika itu, yang seorang mengenakan mantel mungil sedangkan yang satunya lagi masih menyusu di dada ibunya.

Lalu ia pun mengenang dirinya sendiri kala itu: muda dan ceria. Ia ingat ketika duduk bermain gitar di beranda losmen itu, di mana dirinya ditangkap. Betapa dulu ia tak pernah merasa susah.

Di benaknya ia melihat tempat di mana dirinya dicambuk, sang algojo, orang‑orang yang berdiri di sekelilingnya, ran­tai‑rantai itu, para pekerja paksa, semua dua puluh enam tahun kehidupannya di penjara, dan usia tuanya yang prematur. Menge­nang semua itu membuatnya sangat sedih hingga ingin rasanya bunuh diri.

“Dan semua ini karena perbuatan bajingan itu!” batinnya. Dan kemarahannya sangat besar kepada Makar Semyonich sehingga ia ingin sekali melakukan balas dendam, walaupun dirinya sendiri harus hancur karenanya. Ia terus mengulang‑ulang doa sepanjang malam itu, namum tetap tidak bisa merasa tentram. Selama siang harinya ia tidak mau berada di dekat Makar Semyo­nich, ataupun melihat ke arahnya.

Dua pekan berlalu seperti itu. Aksionov tak dapat tidur tiap malamnya, dan begitu menderita sehingga tak tahu apa yang harus dikerjakan.

Suatu malam ketika sedang berjalan‑jalan di sekitar penjara ia melihat seonggok tanah terlempar keluar dari bawah salah satu dipan bersusun tempat tidur para napi. Iapun ber­henti untuk mengamati apakah itu gerangan. Tiba‑tiba Makar Semyonich merangkak keluar dari bawah dipan tadi dan memandang ke atas kepada Aksionov dengan ketakutan. Aksionov berusaha berlalu tanpa memandang ke arahnya, tapi Makar Semyonich mencengkeram lengannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia telah menggali sebuah lubang di bawah dinding, membuang tanahnya dengan cara memasukkannya ke dalam sepatu boot‑nya yang ting­gi, lalu membuangnya setiap hari ke jalan ketika para napi sedang digiring untuk bekerja.

“Pokoknya kau diam saja, Pak Tua. Dan kaupun akan ikut keluar juga. Kalau kau sampai berkicau maka mereka akan men­cambukku sampai mati, tapi sebelum itu aku akan membunuhmu lebih dulu.”

Aksionov bergetar marah ketika memandang musuhnya. Ia merenggutkan tangannya seraya berkata, “Aku tak ingin melolos­kan diri. Dan kaupun tak perlu membunuhku, kau telah membunuh­ku sejak lama! Tentang melaporkan perbuatanmu ini, aku boleh melakukannya atau tidak, Tuhanlah yang memberi petunjuk.”

Pada hari berikutnya ketika para napi digiring ke peker­jaan mereka, patroli tentara melihat salah seorang napi sedang membuang tanah dari sepatu boot‑nya. Penjara tersebut digele­dah dan terowongan itupun ditemukan. Sang gubernur datang dan menanyai semua napi untuk mencari tahu siapa yang telah meng­gali lubang itu. Mereka semua menyangkal mengetahui hal terse­but. Orang‑orang yang tahupun tidak mau mengkhianati Makar Semyonich, karena tahu bahwa ia akan dicambuk sampai hampir mati.

Akhirnya sang gubernur berpaling kepada Aksionov yang diketahuinya sebagai seorang yang jujur, dan berkata, “Kau adalah seorang tua yang bisa dipercaya, katakan padaku, di depan Tuhan, siapa yang telah menggali lubang itu?”

Makar Semyonich berdiri dengan lagak seakan‑akan tidak begitu peduli, dia memandang kepada sang gubernur dan hanya melihat sekilas ke arah Aksionov. Bibir dan tangan Aksionov bergetar, dan untuk beberapa lama ia tak dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia membatin, “Mengapa aku harus melindungi orang yang telah menghancurkan hidupku? Biar dia membayar apa yang telah kuderita ini. Tapi bila aku bicara, mereka mungkin akan mencambuknya sampai mati, dan barangkali kecurigaanku ini bisa saja salah. Lagipula, apa untungnya bagiku?”

“Baiklah, Pak Tua,” ulang sang gubernur, “katakan padaku yang sejujurnya: siapa yang telah menggali di bawah tembok itu?”

Aksionov melihat sekilas ke arah Makar Semyonich, dan berkata, “Aku tak dapat mengatakannya, Tuan. Bukanlah kehendak Tuhan agar aku mengatakannya! Lakukan saja apa yang Anda inginkan atas diriku ini, aku berada di tangan Anda.”

Bagaimanapun sang gubernur telah berusaha, Aksionov tidak mau berkata lebih banyak lagi, dan perkara itupun akhir­nya dianggap selesai.

Malamnya ketika Aksionov berbaring di dipannya dan mulai terlelap, seseorang mendatanginya secara diam‑diam dan duduk di atas dipannya. Iapun memandang dengan tajam menembus kege­lapan dan mengenali Makar Semyonich.

“Apa lagi yang kamu inginkan dariku?” tanya Aksionov. “Kenapa kamu datang ke sini?”

Makar Semyonich diam.

Maka Aksionovpun duduk dan berkata, “Apa maumu? Pergi­lah, atau akan aku panggilkan penjaga!” Makar Semyonich membungkuk ke dekat Aksionov lalu berbi­sik, “Ivan Dimitrich, maafkan aku….”

“Untuk apa?” tanya Aksionov.

“Akulah sebenarnya yang dulu membunuh saudagar itu dan menyembunyikan pisaunya di dalam barang‑barangmu. Aku sebetul­nya bermaksud membunuhmu juga, namun kudengar ada ribut‑ribut di luar, maka kusembunyikan pisau itu ke dalam tasmu dan melarikan diri lewat jendela.”

Aksionov terdiam, dan tak tahu apa yang harus dikatakan­nya. Makar Semyonich beringsut dari dipan itu dan berlutut di atas tanah.

“Ivan Dimitrich,” katanya memohon, “maafkanlah aku. Demi kasih Tuhan, maafkanlah aku. Aku akan mengaku bahwa akulah yang telah membunuh saudagar itu, dan kaupun akan dibebaskan dan bisa pulang ke rumahmu.”

“Mudah saja bagimu bicara begitu,” ujar Aksionov, “tapi aku telah menderita karena ulahmu selama dua puluh enam tahun ini. Ke mana lagi aku hendak pergi sekarang? Istriku sudah meninggal, dan anak‑anakku pun sudah tak ingat lagi kepadaku. Aku tak bisa pergi ke mana‑mana lagi….”

Makar Semyonich tidak bangkit, tapi justru membentur‑benturkan kepalanya ke lantai. “Ivan Dimitrich, maafkan aku!” tangisnya. “Ketika mereka mencambukku dengan cemeti dulu, tidaklah seberapa berat menanggungnya dibandingkan melihatmu seperti saat ini. Bahkan kaupun telah mengasihaniku, dengan tidak mengatakannya kepada mereka siang tadi. Demi Kristus, ampuni aku, aku memang brengsek!” Dan iapun terisak‑isak. Ketika Aksionov mendengarnya menangis terisak‑isak begitu, iapun ikut menangis. “Tuhan akan mengampunimu,” kata­nya. “Mungkin aku seratus kali lebih buruk daripadamu.”

Dan dengan kata‑kata ini hatinyapun terasa ringan dan terang, kerinduan kepada rumah pun hilang. Ia tak ada keingi­nan lagi meninggalkan penjara itu, namun hanya mengharap agar saat‑saat terakhirnya segera tiba.

Terlepas dari apa yang telah dikatakan Aksionov, Makar Semyonich tetap mengakui kesalahannya. Tapi ketika perintah pembebasan atas dirinya dikeluarkan, Aksionov baru saja wafat.

.
Judul asli: “God Sees the Truth, But Waits”
LEO TOLSTOY (1828‑1910) ketika mudanya pernah bergabung di dalam dinas militer Tsar, namun setelah menikah ia menetap dan mengurusi para petani penggarap tanah milik keluarga Yasnaya Polyana. Di sanalah lahir anak‑anaknya, juga novel‑novel terbaiknya: “Perang dan Damai” dan “Anna Karenina”. Ia anti kekerasan, mencintai kesederhanaan dan kasih. Karena berani menyam­paikan pendapat dan bertindak sesuai dengan keyakinannya, iapun dikucilkan oleh Gereja Orthodox Rusia. Namun kini ia dianggap sebagai salah seorang tokoh puncak sastra dan seorang manusia yang saleh.

“Taruhan”, short story by Anton Chekov

Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondar‑mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan percakapan‑percakapan yang menarik di sana.

Di antara hal‑hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman terse­but. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno, tidak cocok untuk negara kristen dan amoral. Seba­gian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti saja dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.

“Aku tak sependapat dengan kalian,” kata sang tuan rumah. “Aku sendiri belum pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara. Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh perlahan‑lahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu dalam beberapa detik ataukah seseorang yang mencabut nyawamu selama bertahun‑tahun?” “Keduanya sama‑sama amoral,” ujar seorang tamu, “karena tujuan keduanya sama, mengambil kehidupan. Negara bukan Tuhan. Ia tak punya hak untuk mengambil apa yang tak dapat diberikannya kembali.”

Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ketika dimintai pendapatn­ya, ia berkata:

“Hukuman mati dan penjara seumur hidup sama‑sama amoral, tapi kalau aku disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.”

Terjadilah perdebatan yang seru. Sang bankir yang saat itu masih muda dan temperamental tiba‑tiba naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak kepada pengacara muda tadi:

“Bohong! Aku berani bertaruh dua juta kau takkan betah ngendon di sel walau hanya untuk lima tahun saja!”

“Kalau kau serius,” sahut sang pengacara, “aku bertaruh akan ngendon bukan hanya selama lima, tapi lima belas tahun.”

“Lima belas tahun. Jadi!” seru sang bankir. “Tuan‑tuan, aku mempertaruhkan dua juta!”

“Setuju. Kau bertaruh dengan dua juta, aku dengan kebeba­sanku,” kata sang pengacara.

Maka taruhan edan‑edanan itu jadilah. Sang bankir yang saat itu memiliki banyak uang tak dapat mengendalikan dirinya. Selama makan malam ia berkata kepada sang pengacara dengan canda:

“Sadarlah sebelum terlalu terlambat, anak muda. Dua juta tak ada artinya bagiku, namun kau akan kehilangan tiga atau empat tahun terbaik dalam hidupmu. Kubilang tiga atau empat, karena kau takkan kuat ngendon  lebih lama lagi. Juga jangan lupa, hai orang malang, bahwa sukarela lebih berat daripada melaksanakan hukuman penjara sesungguhnya. Pikiran bahwa kau punya hak untuk membebas­kan dirimu kapan saja, akan mengacaukan seluruh kehidupanmu di dalam sel. Aku kasihan padamu.”

Dan kini sang bankir berjalan mondar‑mandir mengenang ini semua dan bertanya pada dirinya sendiri:

“Kenapa kulakukan taruhan ini? Apa manfaatnya? Si pengacara itu kehilangan lima belas tahun kehidupannya dan aku membuang dua juta. Apakah ini akan meyakinkan masyarakat bahwa hukuman mati lebih buruk atau lebih baik daripada penjara seumur hidup? Tidak, tidak! Semua ini kesia‑siaan belaka. Di pihakku itu semata‑mata akibat pikiran mendadak dari seorang yang kaya raya; sedang bagi si pengacara, semata‑mata karena kerakusan akan harta.”

Ia mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah pesta malam itu. Diputuskan bahwa sang pengacara harus menjalani masa kurungannya di bawah pengawasan yang sangat ketat di sebuah paviliun yang terletak di kebun milik sang bankir. Juga telah disepakati bahwa selama masa itu ia akan kehilangan hak untuk melintasi ambang pintu, melihat kehidupan masyarakat, mendengar suara‑suara manusia, dan menerima surat serta koran. Ia diijinkan memiliki sebuah alat musik, membaca buku‑buku, menulis surat, minum anggur dan menghisap tembakau. Berdasar kesepakatan ia bisa berkomunikasi dengan dunia luar, namun hanya dengan keheningan, melalui sebuah jendela kecil yang khusus dibangun untuk itu.

Semua kesepakatan itu telah tertulis secara rinci, yang membuat masa kurungan itu amat sangat sunyi dan terasing, dan sang pengacara diwajibkan untuk tinggal tepat selama lima belas tahun mulai dari pukul dua belas pada tanggal 14 November 1870 sampai dengan pukul dua belas tanggal 14 November 1885. Sedikit saja ia melakukan pelanggaran atas syarat‑syarat tadi, melepaskan diri walau hanya kurang dua menit dari waktunya, membebaskan sang bankir untuk membayarnya dua juta.

Selama tahun pertamanya di penjara, sang pengacara, sepanjang kesimpulan yang dapat ditarik dari catatan‑catatan kecilnya, sangat menderita karena kesendirian dan kesepian. Siang malam dari kamarnya terdengar suara piano. Ia menolak anggur dan tembakau. “Anggur,” tulisnya, “membangkitkan keinginan‑keinginan yang merupakan musuh utama bagi seorang tahanan, lagi pula tak ada yang lebih membosankan daripada minum anggur yang baik sendirian, sedangkan tembakau mengotori udara di kamarnya.”

Selama tahun pertama itu sang pengacara mendapat kiriman buku‑buku tentang para tokoh, novel‑novel kisah percintaan yang rumit, cerita‑cerita kejahatan dan fantasi, komedi, dan sebagain­ya.

Pada tahun kedua tidak terdengar lagi suara piano dan sang pengacara hanya meminta sastra Yunani dan Romawi kuno. Dalam tahun kelima suara musik kembali terdengar dan sang tahanan meminta anggur. Orang‑orang yang mengawasinya mengatakan bahwa dalam waktu setahun itu ia hanya makan, minum dan berbaring saja di ranjangnya. Ia sering menguap dan bicara sendiri sambil marah‑marah. Ia tidak lagi membaca buku. Terkadang di malam hari ia duduk sambil menulis. Ia menulis dalam waktu lama kemudian merobek‑robek semuanya di pagi hari. Lebih dari sekali terdengar ia menangis.

Dalam pertengahan tahun keenam, sang tahanan mulai mempe­lajari bahasa‑bahasa, filsafat dan sejarah dengan penuh semangat. Ia menekuni bidang‑bidang ini dengan laparnya sehingga sang bankir bersusah payah mencari waktu untuk memenuhi kebutuhan buku‑bukunya. Dalam masa empat tahun telah sekitar enam ratus volume yang dibeli atas permintaannya.

Ketika gairah itu surut, sang bankir menerima surat berikut ini dari sang tahanan:

“Sipirku yang baik, kutulis baris‑baris ini dalam enam bahasa. Tunjukkanlah kepada para ahli. Biar mereka membacanya. Jika mereka tak menemukan satu kesalahanpun, kuminta kau memerintahkan orangmu melepas tembakan di kebun. Dengan keributan itu, aku akan tahu bahwa usahaku selama ini tidaklah sia‑sia. Para cendekiawan dari segala masa dan negeri berbicara dalam bahasa‑bahasa yang berbeda, namun dalam diri mereka semua menyala semangat yang sama. Oh, seandainya kau tahu betapa bahagianya aku kini karena telah mengerti bahasa‑bahasa mereka!”

Keinginan sang tahananpun terpenuhi. Dua tembakan dilepas di kebun atas perintah sang bankir.

Selanjutnya, setelah tahun ke sepuluh, sang pengacara duduk tak bergeming di depan mejanya dan hanya membaca Kitab Perjanjian Baru. Sang bankir merasa heran bahwa seorang pria yang selama empat tahun telah menguasai enam ratus volume ilmu pengetahuan, akan menghabiskan hampir satu tahun hanya untuk membaca sebuah buku saja, yang mudah dipahami dan sama sekali tidak tebal. Perjanjian Baru itu kemudian digantikan dengan sejarah agama‑agama dan teologi.

Selama dua tahun terakhir dari masa kurungannya sang taha­nan dengan edan‑edanan membaca luar biasa banyak. Sekarang ia menekuni ilmu‑ilmu alam, kemudian melahap karya‑karya Byron dan Shake­speare. Ia mengirim catatan‑catatan kecil minta dikirimi dalam waktu yang bersamaan sebuah buku tentang kimia, sebuah textbook tentang kedokteran, sebuah novel, dan beberapa risalah filsafat atau teologi. Ia membacanya seakan‑akan sedang berenang di lautan di antara kepingan‑kepingan kapal pecah, dan dalam perjuangan menyelamatkan nyawanya ia mencengkeram keping‑keping itu satu per satu dengan bersemangat.

Sang bankir mengenang semua ini dan berpikir:

“Pukul dua belas besok ia memperoleh kebebasannya. Berdasar kesepakatan, aku nanti harus membayarnya dua juta. Kalau kubayar, tamatlah riwayatku. Aku bangkrut selamanya….”

Lima belas tahun silam uangnya berjuta‑juta, tapi sekarang ia bahkan takut bertanya kepada dirinya sendiri manakah yang lebih banyak dimilikinya, uang ataukah hutang. Berjudi di pasar modal, spekulasi yang beresiko, dan kesembronoan yang tidak dapat dihilangkannya bahkan sampai tuanya, perlahan‑lahan telah mengan­tar bisnisnya kepada kehancuran. Dan pengusaha yang dulu pembera­ni, penuh percaya diri dan angkuh itu kini telah berubah menjadi seorang bankir biasa yang gemetar setiap kali terjadi fluktuasi harga di pasar.

“Taruhan terkutuk itu,” bisik pria tua tadi sambil memegangi kepalanya dalam keputusasaan. “Kenapa orang itu tidak mati saja? Umurnya baru empat puluh tahun. Ia akan membawa pergi sampai recehan terakhirku serta mengakhiri semuanya; pernikahanku, hidupku yang enak ini, perjudian di bursa saham, dan aku akan kelihatan seperti seorang kere yang iri dan mendengar kata‑kata yang sama darinya setiap hari: ‘Aku berhutang budi padamu untuk kebahagiaan hidupku. Biarlah aku menolongmu.’ Tidak, itu terlalu banyak! Satu‑satunya cara melepaskan diri dari kebangkrutan dan aib adalah pria itu harus mati.”

Jam baru saja berdentang menunjukkan pukul tiga. Sang bankir menyimaknya. Di rumah itu semua orang sudah tidur, dan yang terdengar hanyalah bunyi pepohonan beku yang menderu‑deru di luar jendela. Dengan berusaha agar tidak menimbulkan suara, ia mengeluarkan kunci pintu yang tidak pernah dibuka selama lima belas tahun dari peti besinya kemudian mengantongi di mantelnya lalu keluar dari rumah. Di kebun suasananya gelap dan dingin. Saat itu sedang hujan. Ada kabut dan hembusan angin yang menderu‑deru, membuat pepohonan tidak bisa diam. Meskipun telah memaksakan matanya, sang bankir tetap tak dapat melihat tanah, patung‑patung putih, paviliun ataupun pepohonan di kebun itu. Ketika sedang mendekati paviliun, ia memang­gil‑manggil sang pengawas dua kali. Namun tak ada jawaban. Agaknya sang pengawas telah mencari perlindungan dari cuaca buruk dan kini sedang tertidur di dapur atau rumah kaca.

“Kalau aku punya keberanian untuk menjalankan niatku,” pikir laki‑laki tua itu, “kecurigaan pertama kali akan ditujukan kepada si pengawas.”

Di dalam kegelapan ia meraba‑raba mencari jalan dan pintu kemudian memasuki aula paviliun. Selanjutnya ia meneruskan lang­kahnya melewati sebuah celah sempit dan menyalakan sebatang korek api. Tak ada seorangpun di sana. Terlihat dipan tanpa seprei dan selimut serta sebuah kompor besi samar‑samar di sudut ruangan. Segel yang tertempel di pintu masuk kamar tahananpun masih utuh.

Ketika koreknya mati, pria tua itu, yang gemetaran karena gejolak di dalam dirinya, mengintip lewat jendela kecil. Di kamar tahanan terdapat sebatang lilin yang menyala remang‑remang. Sang tahanan duduk sendirian di depan meja. Hanya punggung, rambut dan kedua belah tangannya saja yang nampak. Buku‑buku yang terbuka berserakan di atas meja, kedua kursi, dan karpet di dekat meja.

Lima menit berlalu dan sang tahanan tak sekalipun menoleh. Lima belas tahun dalam kurungan telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Sang bankir mengetuk‑ngetuk jendela dengan jarin­ya, tapi sang tahanan tidak melakukan sebuah gerakanpun sebagai tanggapan. Lalu sang bankir dengan hati‑hati merobek segel pintu dan memasukkan kunci ke lubangnya. Lubang kunci yang berkarat mengeluarkan suara serak dan pintu pun berderit. Sang bankir mengharap segera mendengar seruan kaget dan bunyi langkah‑langkah. Tiga menit berlalu dan suasana tetap hening di dalam, sebagaimana sebelumnya. Iapun memutuskan untuk masuk.

Pria itu duduk di depan meja, tidak seperti manusia biasa. Nampak mirip tengkorak terbalut kulit yang berambut gondrong keriting seperti perempuan dan berewokan. Wajahnya kuning pucat karena tak pernah tersentuh sinar matahari, kedua belah pipinya kempot, punggungnya panjang dan kecil, dan tangannya yang dipakai untuk menopangkan kepalanya sangat kurus dan lemah sehingga menyedihkan sekali bagi yang melihatnya. Rambutnya sudah beruban, dan tak seorangpun yang melihat sekilas ke wajah tua yang peot itu akan percaya bahwa ia baru berusia empat puluh tahun. Di atas meja, di depan kepalanya yang tertunduk, tergeletak secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang kecil‑kecil.

“Manusia malang,” batin sang bankir, “dia sedang tertidur dan barangkali sedang melihat uang jutaan dalam mimpinya. Aku tinggal mengangkat dan melempar benda setengah mati ini ke atas dipan, membekapnya sebentar dengan bantal, dan otopsi yang paling teliti sekalipun tak akan menemukan sebab kematian yang tidak wajar. Tapi, pertama‑tama, mari kita baca apa yang telah ditulisnya di sini”. Sang bankirpun mengambil kertas itu dan membacanya:

“Besok pukul dua belas tengah malam aku akan memperoleh kebebasanku dan hak untuk bergaul dengan masyarakat. Namun sebe­lum kutinggalkan ruangan ini dan melihat cahaya matahari, kupikir aku perlu menyampaikan beberapa patah kata kepadamu. Dengan nurani yang jernih dan Tuhan sebagai saksinya, kunyatakan kepada­mu bahwa aku memandang hina kebebasan, kehidupan, kesehatan, dan semua yang disebut oleh buku‑bukumu sebagai rahmat di dunia ini.”

“Selama lima belas tahun aku dengan rajin telah mempelajari kehidupan duniawi. Memang benar, aku tidak melihat dunia maupun orang‑orang, tapi dalam buku‑bukumu aku meminum anggur yang wangi, menyanyikan lagu‑lagu, berburu rusa dan babi hutan di rimba, mencintai wanita‑wanita….”

“Dan wanita‑wanita cantik, selembut awan, yang diciptakan oleh sihir kejeniusan para pujangga, mengunjungiku di malam hari dan membisikkan dongeng‑dongeng yang menakjubkan, membuat aku mabuk kepayang.”

“Dalam buku‑bukumu aku mendaki puncak Elbruz dan Mont Blanc dan dari sana menyaksikan bagaimana matahari terbit di pagi hari, dan ketika senjanya menutupi langit, samudera, dan punggung pegunungan dengan warna lembayung keemasan. Dari sana kulihat betapa di atasku kilat berkilauan membelah awan, kulihat hutan‑hutan yang hijau, ladang‑ladang, sungai‑sungai, danau‑danau, kota‑kota, kudengar nyanyian sirene dan permainan pipa‑pipa Pan, kusentuh sayap iblis‑iblis cantik yang terbang mendatangiku untuk berbicara tentang Tuhan…. Dalam buku‑bukumu kuterjunkan diriku ke dalam jurang tanpa dasar, membuat berbagai keajaiban, membakar kota‑kota sampai rata dengan tanah, mengajarkan agama‑agama baru, menaklukkan seluruh negara….”

“Buku‑bukumu memberiku kebijaksanaan. Semua pemikiran manu­sia yang tak jemu‑jemunya diciptakan selama berabad‑abad telah terkumpul di dalam otakku yang kecil. Aku tahu bahwa aku lebih pandai darimu dalam segala hal.”

“Dan aku memandang hina buku‑bukumu, memandang hina semua rahmat duniawi dan kebijakan. Semua itu hampa, lemah, dan khayali bagai bayang‑bayang. Sekalipun engkau hebat, bijaksana, dan tampan, kelak kematian akan menghapuskanmu dari muka bumi seperti tikus di bawah tanah. Dan keturunan, sejarah serta monumen kejeniusanmu akan menjadi ampas beku yang habis terbakar bersama bola bumi ini.”

“Engkau sinting, dan menyusuri jalan yang salah. Engkau menukar kesejatian dengan kepalsuan dan kecantikan dengan keburukan. Kau akan heran bila pohon apel dan jeruk menghasilkan kodok dan kadal, bukannya buah. Dan jika bunga‑bunga mawar mengeluarkan bau keringat kuda. Demikian pula aku heran padamu yang telah menukar sorga dengan dunia. Aku tak ingin memahamimu.”

“Kutunjukkan padamu kejijikanku atas cara hidupmu, kutolak dua juta itu yang pernah kuimpikan sebagai sorga, dan yang kini kuanggap hina. Aku cabut hakku atasnya, aku akan keluar dari sini lima menit sebelum waktunya, dengan demikian akan batallah perse­tujuan itu.”

Setelah membacanya, sang bankir meletakkan kembali kertas tersebut di atas meja, dikecupnya kepala orang asing itu, dan iapun mulai menangis. Ia keluar dari paviliun itu. Tak pernah sebelumnya, bahkan juga setelah mengalami kerugian besar di bursa saham, ia merasa begitu jijik kepada dirinya sendiri seperti sekarang ini. Setelah tiba di rumah, ia membaringkan tubuhnya di atas dipan, tapi gejolak batin dan air mata menahannya untuk tidur selama beberapa saat.

Pada paginya sang pengawas yang malang mendatanginya dengan berlari‑lari dan melaporkan bahwa mereka telah melihat pria yang tinggal di paviliun itu memanjat jendela dan turun ke kebun. Ia telah pergi ke pintu gerbang dan menghilang. Sang bankir segera pergi bersama para pembantunya ke paviliun tadi dan mendapatkan tahanannya telah melepaskan diri. Untuk menghindari desas‑desus yang tak diinginkan ia mengambil surat yang berisi pernyataan penolakan itu dari atas meja dan setelah kembali ke rumah menyim­pannya di peti besinya.

Sumber :

http://sastradunia.wordpress.com/2011/05/20/taruhan-cerpen-anton-chekov/

“Ninochka”, short story by Anton Chekhov

PINTU terbuka perlahan dan Pavel Sergeyevich Vikhlyenev, sahabat lamaku, muncul dari balik pintu. Meski masih muda ia penyakitan, terlihat tua, ditambah perawakannya yang berbahu tegap, kurus kering dengan hidung panjangnya. Benar-benar sosok yang tidak menarik! Namun, di sisi lain ia memiliki wajah yang ramah, lembut, juga tegas. Setiap kau memandang wajahnya kau akan berkeinginan untuk meraba dengan jari-jarimu, merasakan dengan sungguh-sungguh kehangatan yang dimilikinya. Seperti umumnya kutu buku, temanku dikenal sebagai orang yang pendiam, kalem, dan pemalu. Ditambah lagi saat ini wajahnya terlihat agak pucat dan sangat gelisah tak seperti biasanya.

“Ada apa denganmu, teman?” tanyaku sambil melirik wajahnya yang pucat dan bibirnya yang gemetar. “Kau sedang sakit atau ada masalah lagi dengan istrimu? Kau tak terlihat seperti biasanya!”

Dengan sedikit ragu Vikhlyenev mendehem dan dengan sikap putus asa ia mulai bercerita, “Ya, dengan Ninochka lagi. Aku sangat gelisah, tak bisa tidur semalaman, dan seperti yang kau lihat aku bagaikan mayat hidup. Kurang ajar, orang-orang bisa saja tak terganggu dengan masalah ini. Mereka menganggap enteng rasa sakit, kehilangan seseorang, dan terluka. Namun, hal sepele ini bisa membuatku kecewa dan tertekan.”

“Tetapi, ada apa?”
“Sebenarnya hal yang sepele. Drama dalam sebuah keluarga. Namun, akan kuceritakan semuanya kalau kau berkenan untuk mendengarkannya. Kemarin Ninochka tak pergi keluar seperti biasanya. Ia merencanakan untuk menghabiskan sore bersamaku dengan tinggal di rumah. Tentu saja aku sangat bahagia. Dia selalu keluar untuk menjumpai seseorang, dan sejak itu aku selalu berada di rumah sendirian setiap malam. Kau bisa bayangkan betapa…yah…gembiranya aku saat itu. Namun, kau belum menikah. Jadi, kau belum bisa merasakan betapa hangat dan menyenangkan ketika kau pulang bekerja dan menemukan…ah istrimu sedang menunggu di rumah!”

Temanku, Vikhlyenev, memaparkan kehidupan pernikahan yang menyenangkan. Lalu ia menyeka keringat di dahinya dan kembali bercerita.

“Ninochka mengira akan menyenangkan menghabiskan malam bersamaku. Ya, kau tahu bukan, bahwa aku adalah orang yang sangat membosankan dan jauh dari cerdas. Takkan menyenangkan untuk jalan bersamaku. Aku selalu bersama dengan kertas-kertas kerja dan asap rokok. Aku bahkan tak pernah bermain keluar, berdansa, atau berkelakar. Dan kau pasti tahu benar bahwa Ninochka adalah orang yang menyenangkan. Juga masih sangat berjiwa muda. Bukankah begitu?

Ya, ah aku mulai menunjukkan hal-hal kecil, foto-foto serta hal lainnya. Aku juga menceritakan beberapa cerita…dan tiba-tiba aku teringat surat-surat yang aku simpan lama di mejaku. Beberapa surat tersebut isinya sangat lucu. Waktu aku masih sekolah aku punya teman yang pandai menulis surat. Jika kau membacanya maka perutmu pasti sakit karena tertawa terbahak-bahak! Kuambil surat itu dari dalam meja dan mulai membaca satu per satu untuk Ninochka. Pertama, kedua, ketiga, dan semuanya berantakan. Hanya karena satu surat di mana ia membaca kalimat “salam manis dari Katya”. Istriku yang cemburu itu kalimat-kalimatnya seperti pisau yang tajam dan Ninochka seperti Othello dalam pakaian wanita!

Pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan memenuhi kepalaku: siapa Katya, bagaimana dan mengapa, kucoba terangkan pada Ninochka bahwa dia adalah masa laluku, cinta pertama pada masa mudaku, sangat mustahil melekat di ingatanku karena tak ada yang penting untuk diingat. Setiap orang di masa mudanya memiliki seorang “Katya”. Itu kataku mencoba menjelaskan pada Ninochka dan sangat mustahil jika seseorang tak memilikinya. Namun, Ninochka sama sekali tak mau mendengarkan. Ia membayangkan yang tidak-tidak! Dan mulai menangis dengan histeris.

’Kau sangat jahat!’ ia menjerit, ’Kau menyembunyikan masa lalumu padaku! Mungkin saja kau juga memiliki seseorang seperti Katya saat ini dan kau menyembunyikannya padaku!’ Aku coba dan terus mencoba meyakinkan padanya, namun ia sama sekali tak mendengar. Logika laki-laki memang tak akan berguna untuk seorang wanita. Akhirnya aku berlutut memohon maaf. Aku membungkuk dan kau tahu yang dia lakukan? Ia pergi ke kamar dan membiarkanku di sofa ruang kerja. Pagi itu ia sinis padaku, tak mau melihatku dan bicara seakan aku ini orang asing. Dia mengancam akan pulang ke rumah ibunya dan aku yakin dia akan melakukannya. Aku tahu dia!”

“Oh, bukan cerita yang menyenangkan.”
“Wanita memang tak bisa dimengerti, ya. Ninochka masih muda, masih hijau, dan sensitif. Tak bisa dikejutkan oleh sesuatu yang meskipun sangat sederhana. Begitu sulitkah memaafkan meski aku telah sangat memohon, aku telah berlutut padanya, bahkan aku menangis!”

“Ya, ya, wanita memang sebuah teka-teki yang sangat sulit!”
“Teman, kau punya pengaruh besar bagi Ninochka. Dia sangat menghormatimu. Dia memandangmu sebagai orang yang berwibawa. Tolong, temuilah dia! Gunakan pengaruhmu untuk mengatakan bahwa apa yang dipikirkannya itu salah. Aku sangat menderita. Jika ini terus saja berlangsung aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Tolonglah!”

“Tapi, apakah ini tepat?”
“Mengapa tidak? Kau dan dia berteman sejak kecil. Dia percaya padamu. Sebagai teman, tolonglah aku!”

Tangisan dan permohonan Vikhlyenev menyentuh hatiku. Dengan segera aku berpakaian dan menemui istrinya. Kutemui Ninochka di tempat favoritnya: duduk di sofa dengan kaki menyilang, mengedipkan matanya yang indah dan sedang tidak melakukan apa-apa. Ketika aku datang ia segera meloncat dan berlari padaku. Memperhatikan sekeliling, menutup pintu, dan dengan gembira memeluk leherku. (Pembaca, tentu saja ini tidak salah ketik. Dalam setahun ini, aku telah berhubungan intim dengan istri Vikhleyenev).

“Pikiran jahat apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?” tanyaku sembari mendudukkan Ninochka di dekatku.
“Apa maksudmu?”

“Lagi-lagi kau menyiksa suamimu. Ia datang padaku dan menceritakan semuanya.”
“Oh… rupanya dia menemukan orang untuk mengadu!”

“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Ah, tidak begitu penting. Aku sedang bosan semalam dan merasa kesal karena tak tahu harus pergi ke mana. Karena rasa jengkel aku mulai meracau tentang ’Katya’. Aku mulai menangis karena rasa bosan, jadi bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya?”

“Tapi, kau tahu sayang. Itu sangat jahat dan tidak manusiawi. Dia sangat takut dan terganggu dengan ulahmu.”
“Ah, itu hal yang sepele. Dia sangat suka ketika aku berpura-pura cemburu, tak ada yang lebih bagus selain berakting cemburu. Tapi, sudahlah! Lupakan saja. Aku tidak suka kita membicarakan hal ini, aku sudah menyerah. Kau mau minum teh?”

“Tapi sayang, berhentilah menyiksa dia. Kau tahu bukankah dia terlihat sangat menyedihkan. Dia menceritakan semuanya padaku, bahwa dia benar-benar jatuh cinta padamu dan itu sangat tidak mengenakkan. Kontrol dirimu! Tunjukkan kasih sayangmu. Satu kalimat omong kosong akan membuatnya sangat bahagia.”

Ninochka cemberut dan merengut, namun beberapa saat ketika Vikhleyenev datang dengan keraguan yang tergambar jelas di mukanya, Ninochka tersenyum dan menunjukkan kasih sayang padanya.

“Kau datang di saat yang tepat, waktunya minum teh,” ujar Ninochka pada suaminya, “Pintar sekali kamu sayang. Tak pernah datang terlambat. Kau mau dengan jeruk atau susu?”

Vikhleyenev yang tak mengira akan disambut seperti itu, perlahan-lahan mendekati istrinya. Mencium tangan Ninochka dengan hangat serta merangkulku. Pelukan yang aneh dan sangat cepat, membuat aku dan Ninochka menjadi malu.

“Berkatilah sang pencipta kedamaian!” teriak sang suami yang bahagia. “Kau telah membuat ia mau mengerti. Mengapa? Karena kau memang laki-laki sejati. Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita. Hahaha…aku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku menggunakan sepuluh kata. Ketika hanya harus mencium tangan istriku, aku melakukan hal lain. Hahaha…”

Setelah minum teh Vikhlyenev memintaku untuk ke kamar kerjanya. Menahanku berbicara dan dengan suara lirih ia berucap, “Aku tak tahu bagaimana berterima kasih padamu, teman. Aku sangat menderita dan tersiksa. Namun, kini aku luar biasa bahagia, dan ini bukan pertama kalinya kau menolongku dari masalah yang mengerikan. Teman, kumohon jangan menolak jika aku ingin memberimu…ini! Lokomotif mini yang kubuat sendiri, aku mendapatkan penghargaan atas penemuan ini. Ambillah sebagai rasa terima kasihku, juga sebagai tanda pertemanan kita. Terimalah demi aku!”

Dengan berbagai cara aku menolak pemberian tersebut, namun Vikhlyenev terus-menerus memaksaku. Mau tidak mau aku harus menerima hadiah yang sangat berharga itu.

Hari, minggu, bulan pun berlalu. Cepat atau lambat keburukan akan tersingkap dan diketahui olehnya. Ketika tanpa sengaja Vikhlyenev tahu akan semua kebenaran tentang aku dan istrinya ia sangat terkejut, pucat, terduduk di sofa dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresi sakit hati diungkapkannya dengan bahasa tubuh. Ia berpindah dari satu sofa ke sofa lain dengan perasaan yang sangat menderita sekali. Gerak-geriknya dipengaruhi oleh kesedihan.

Seminggu kemudian, setelah menenangkan pikiran karena berita yang amat mengejutkan tersebut, Vikhlyenev datang menemuiku. Kami berdua saling menghindar dan jengah. Aku mencoba berceloteh tentang kebebasan cinta, egoisme hubungan perkawinan, dan takdir yang tak bisa dielakkan.

“Bukan itu yang ingin kubicarakan,” katanya memotong, “Tentang hal itu aku sangat mengerti. Membicarakan perasaan siapa pun tak bisa disalahkan. Yang aku khawatirkan adalah hal lain. Hal yang sebenarnya tak berarti. Kau tahu sendiri, aku sama sekali tak mengerti tentang hidup, di mana kehidupan yang sebenarnya, dan kebiasaan masyarakat yang harus diperhatikan, misalnya. Aku orang yang benar-benar belum berpengalaman. Jadi, tolonglah teman! Katakan padaku apa yang harus dilakukan Ninochka sekarang? Tinggal bersamaku atau dia harus pindah bersamamu?”

Dengan kepala dingin kami membicarakan hal tersebut dan akhirnya kami menemukan jalan tengah. Ninochka tetap tinggal bersama suaminya, dan aku bisa menemuinya kapan pun. Karenanya, ia memakai kamar yang ada di pojok yang dulunya adalah gudang. Kamar itu agak gelap dan lembab, pintu kamarnya berhubungan langsung dengan dapur. Namun, pada akhirnya Vikhlyenev menembak dirinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain. ***
1885

(Dari Anton Chekhov Selected Stories, The New American Library of World Literature, Second Printing, August 1963)

“Kucing Kehujanan”, short story by Ernest Hemingway

Sepasang suami‑istri Amerika singgah di hotel itu. Mereka tidak mengenal orang‑orang yang lalu‑lalang dan berpapasan sepanjang tangga yang mereka lewati pulang‑pergi ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan monumen perang. Ada pohon palm besar‑besar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama papan lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warna‑warna cerah dari hotel‑hotel yang menghadap ke taman‑taman dan laut.

Di depan monumen perang tampak iring‑iringan wisata­wan Italia membentuk barisan membujur untuk menyaksikan monumen itu. Monumen yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah guyuran hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohon‑pohon palm tadi. Air berkumpul memben­tuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulung‑gulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman monumen. Di seberang halaman, pada pintu  masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong.

Si istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapat‑rapat agar tidak ketetesan air.

“Aku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,” ujar si istri.

“Biar aku yang melakukannya untukmu,” kata  suaminya  dari tempat tidur.

“Tidak, biar aku saja yang mengambilnya. Kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.”

Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang.

“Jangan berbasah‑basah,” ia memperingatkan.

Si istri turun ke bawah dan si pemilik hotel segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi mele­wati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang laki‑laki tua dan sangat tinggi.

“Il piove,” ujar si istri. Ia menyukai pemilik hotel itu.

“Si, si, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.”

Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesi­nya sebagai seorang pemilik hotel. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besar‑besar.

Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, si  istri membuka pintu dan menengok ke­luar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang laki‑laki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin binatang tadi berjalan di bawah atap‑atap. Ketika si istri masih termangu di pintu masuk sebuah payung terbuka di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka.

“Anda jangan berbasah‑basah,” wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik hotel tadi yang menyuruhnya.

Bersama pelayan wanita yang memayunginya si istri berjalan menyusuri jalan berkerikil sampai akhirnya ia berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tiba‑tiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya.

“Ha perduto qualque cosa, Signora?”

“Tadi ada seekor kucing,” jawab si istri.

“Seekor kucing?”

“Si, il gatto.”

“Seekor kucing?” Pelayan wanita tadi tertawa. “Seekor kucing di bawah guyuran hujan?”

“Ya,” jawabnya, “di bawah meja itu”. Lalu, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.”

Ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris wajah si pelayan menegang.

“Mari, signora,” katanya. “Kita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.”

“Mungkin juga,” jawab wanita Amerika itu.

Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik hotel memberi hormat dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama juga membuat­nya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolah‑olah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang.

“Apakah kau dapatkan kucing itu?” tanyanya sambil meletakkan buku.

“Ia lenyap.”

“Kira‑kira tahu kemana perginya?” tanya si suami sambil memejamkan mata.

Si istri duduk di atas ranjang.

“Aku sangat menginginkannya,” ujarnya. “Aku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.”

George meneruskan membaca.

Si istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya.

“Menurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan pan­jang?” tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali.

George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti laki‑laki.

“Aku suka seperti itu.”

“Aku sudah bosan begini,” kata si istri. “Aku  bosan kelihatan seperti laki‑laki.”

George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi.

“Kau cantik dan bertambah manis,” pujinya. Si istri meletakkan  cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap.

“Aku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,” katanya. “Aku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.”

“Yeah?” komentar George dari ranjangnya.

“Dan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri dan ada lilin‑lilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin baju‑baju baru.”

“Ah, sudahlah. Ambillah bacaan,” tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi.

Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohon‑pohon palm masih jatuh tete­san‑tetesan air.

“Baiklah, aku ingin seekor kucing,” ujar istrinya, “aku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang pan­jang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.”

George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman.

Seseorang mengetuk pintu.

“Avanti,” kata George. Ia mendongak.

Di pintu masuk berdiri seorang pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit  kura‑kura darat dan menyerahkannya ke depan.

“Permisi,” sapanya, “pemilik hotel ini mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.”

Judul asli cerita ini Cat In The Rain, diambil dari buku Ernest Hemingway Short Stories hal 265‑268.
ERNEST HEMINGWAY lahir di Illionis pada tahun 1898. Semula ia menjadi sukarelawan sopir ambulans pada masa Perang Dunia I. Sebagai seorang perantauan di Paris, ia meraih sukses pertama kali dengan ceritanya In Our Time. Di antara novel‑novelnya adalah “The Sun Also Rises” dan “A Farewell to Arms”. Di akhir hayatnya ia melakukan bunuh diri pada tahun 1961.

SUMBER: http://www.english.uiuc.edu/hurt/103/catintherain.htm

“Munafik”, short story by Anton Chekov

JANGAN percaya kepada Yudas-Yudas, bunglon¬-bunglon! Di zaman kita ini orang lebih mudah kehilangan kepercayaan daripada sarung tangan tua; dan saya sudah kehilangan kepercayaan itu!

Malam. Saya naik trem kuda. Sebagai pejabat tinggi, tidak sepatutnya saya naik trem kuda, tetapi kali itu saya mengenakan mantel bulu besar, dan saya dapat menyembunyikan diri di balik kerah mantel dari bulu marten itu. Dan lagi, naik trem kuda lebih mahal, bukan?

Waktu itu sudah larut dan dingin, tetapi gerbong trem penuh sesak. Tidak seorang pun yang mengenali saya. Kerah bulu marten itu membuat saya incognito. Begitulah saya bepergian, mengantuk, dan melihat¬-lihat orang-orang di sekitar.

“Ah, bukan, itu bukan dia!” pikir saya, waktu terlihat oleh saya seorang lelaki bertubuh kecil, me¬ngenakan mantel dari bulu kelinci. “Itu bukan dia! Bukan, bukan dia! Ah, dia!”

Saya berpikir, dan saya percaya sekaligus tidak percaya kepada mata sendiri…..
Orang yang mengenakan mantel bulu kelinci itu mirip sekali dengan Ivan Kapitonich, seorang di antara pegawai kantor saya…. Ivan Kapitonich adalah makh¬luk kecil yang murung dan berhidung pesek, yang hidupnya hanya untuk memungut saputangan yang terjatuh dan mengucapkan selamat hari raya. Ia masih muda, tetapi punggungnya bongkok seperti busur, lututnya bengkok, tangannya kotor dan terlekat pada tepi bajunya…. Mukanya seperti terhimpit pintu atau terhantam gombal basah. Muka itu asam mengibakan. Melihatnya orang jadi hendak menyanyikan lagu “Oskolki” (Serpihan), lalu merintih. Jika melihat saya, ia gemetar, pucat, dan merah-padam, seolah saya ingin menelan atau menyembelihnya, sedangkan ka¬lau saya marahi, ia menggigil, dan seluruh anggota tubuhnya menggeletar.

Tidak ada orang yang lebih hina, lebih pendiam, dan lebih tidak berharga daripada dia. Bahkan saya tidak mengenal binatang yang lebih cinta damai daripada dia.

Lelaki kecil bermantel bulu kelinci itu betul-betul mengingatkan saya kepada Ivan Kapitonich: betul¬betul dia! Cuma, lelaki kecil itu tidak sebongkok Ivan Kapitonich, tidak begitu murung, gayanya bebas, dan yang paling menjengkelkan, ia bicara politik dengan orang di dekatnya. Seluruh gerbong mendengarkannya.

“Gambetta mati!” katanya sambil memutar badan dan mengayunkan tangannya. Ini menguntungkan Bismarck. Gambetta memang punya otak sendiri. Ia berperang melawan orang Jerman, dan punya andil!. Ivan Matveich! la memang orang jenius! la orang Prancis, tetapi jiwanya Rusia. Orang berbakat.”

“Gombal kamu!”

Ketika kondektur mendatanginya dengan mem¬bawa karcis, pembicaraan tentang Bismarck itu dihentikannya.
“Kenapa gerbong ini begini gelap?” kecamnya ke¬pada kondektur. “Apakah tak ada lilin? Betul-betul tak ada ketertiban. Siapa yang mesti mengajar kalian? Kalau di luar negeri, sudah kena kalian! Bukan masya¬rakat untuk kalian, tetapi kalian untuk masyarakat! Setan! Tidak mengerti saya, bagaimana penglihatan para pemimpin!”
Sebentar kemudian ia meminta kami bergeser.
“Geser sedikit! Kalian yang saya ajak bicara ini! Kasih tempat pada perempuan! Sopanlah sedikit! Kondektur! Coba ke sini, Kondektur! Kalian kan ambil uang? Mesti kasih tempat! Ini licik namanya!”
“Di sini dilarang merokok!” teriak kondektur ke¬padanya.
“Siapa yang melarang? Siapa yang punya hak? Ini pelanggaran kebebasan! Saya tidak akan membiarkan siapapun melanggar kebebasan saya! Saya orang be¬bas!”
“Makhluk macam apa kamu ini!”
Saya pandang moncongnya, betul-betul tak per¬caya saya pada mata sendiri. Tidak, itu bukan dia! Tak mungkin! Yang itu tak kenal kata-kata seperti “kebe¬basan” dan “Gambetta”.
“Apa boleh buat, memang baik peraturan itu!” katanya sambil membuang rokoknya. “Bolehlah hidup dengan Tuan-tuan ini! Mereka gila bentuk, gila huruf!
Orang-orang formalis, orang-orang Philistine! Suka mencekik!”
Saya tak tahan lagi, dan tertawa terbahak-bahak. Mendengar tawa saya, sekilas ia menoleh kepada saya, dan gemetarlah suaranya. Ia mengenali tawa saya, dan tentunya mengenali juga mantel bulu saya. Sekejap itu juga punggungnya melengkung, wajahnya mengasam, suaranya padam, kedua tangannya turun ke tepi baju¬nya, dan lututnya membengkok. Berubah dalam se-kejap mata!
Saya tak sangsi lagi… itulah Ivan Kapitonich, pega¬wai kantor saya. Ia pun duduk, menyembunyikan hidungnya yang kecil di balik mantel bulu kelincinya.

Kini saya tatap mukanya.
“Apa betul orang yang murung dan pesek ini bisa mengucapkan kata-kata seperti ‘orang Philistine’ dan ‘kebebasan’? Ha? Apa betul? Ya, betul. Ini sukar di¬percaya, tetapi benar. Gombal kamu!”
Cobalah, apa sesudah itu saya bisa mempercayai bunglon-bunglon yang memperlihatkan tubuhnya yang mengibakan itu!
Saya sungguh-sungguh tidak bisa lagi. Cukuplah, saya tidak bisa dibohongi lagi!

“Cahaya Bulan”, short story by Guy de Maupassant

Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak perempuannya, Madame Henriette Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Negeri Swiss.

Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu. Madame Henriette mengizinkan suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di Calvados, karena ada beberapa urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan menghabiskan beberapa malam di Paris bersama kakaknya. Malam berlalu. Dalam keheningan yang senyap, Madame Roubere asyik membaca dengan pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya setiap kali mendengar suara.

Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam balutan jaket tebal. Dan tanpa salam formal, mereka berpelukan penuh kasih dalam waktu yang cukup lama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. Kemudian, mereka saling menanyakan kabar, keluarga dan ribuan hal lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk melepas jaket dan topinya.

Malam cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu kecil, dan tak lama kemudian, dia acungkan lampu itu ke atas untuk menatap wajah kakaknya, lalu memeluknya sekali lagi. Namun, betapa terkejutnya dia saat menatap wajah kakak tercintanya itu. Dia mundur dan tampak ketakutan.

Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih. Sisanya, rambut itu tampak hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya terdapat dua sisiran keperakan yang menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan tentu saja perubahan ini benar-benar mengejutkan dia semenjak kepergiannya ke Swiss.

Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh keheranan, titik-titik air mata menetes ke kedua pipinya. Pikirannya berkecamuk, bencana apa yang telah terjadi pada kakaknya.

Dia bertanya, “Apa yang terjadi padamu, Henriette?”
Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum seseorang yang patah hati, Henriette menjawab, “Tidak ada apa-apa. Sumpah. Apakah kamu sedang memperhatikan rambut putihku ini?”

Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya tajam, dan mengulangi pertanyaannya lagi.
“Apa yang terjadi padamu? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu berbohong, aku pasti akan mengetahuinya.”

Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang terlihat seolah-olah hendak pingsan, meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.
Adiknya bertanya lagi, “Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab aku!”

Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab, “Aku … aku punya seorang kekasih.”
Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang keras mulai mereda, dia memasrahkan kepalanya ke dada adiknya seolah-olah hendak melepaskan semua beban hatinya, untuk menguras seluruh derita yang telah menyesakkan dadanya.

Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini berjalan menuju sofa di sudut ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam keharuan, sang adik memeluk kakaknya erat-erat untuk mendekatkan diri, lalu mendengarkan.

“Oh! Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami diriku sendiri, dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hatilah, adikku, berhati-hatilah dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah dan jatuh. Cukup satu momen kelembutan saja, satu masa melankolis yang menerpamu di antara ribuan kerinduan untuk membuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu pun akan dengan mudah jatuh.

Kamu mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria yang matang dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wanita. Dia selalu sama, selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurna. Oh! Betapa kadang-kadang aku berharap agar dia memelukku dalam kedua tangannya lalu memberiku ciuman lembut yang manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap agar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah, sehingga dia merasa membutuhkanku, membutuhkan belaianku dan air mataku.

Semua ini kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan seperti itu. Apa daya kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan suamiku. Sekarang terjadi, tanpa cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan telah menyinariku suatu malam di pinggir Danau Lucerne itu.

Selama satu bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, dengan sikapnya yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan rasa puitisku. Ketika kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit, ketika dua ekor kuda saling bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami memandang lembah, hutan, sungai dan pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan berkata kepadanya: ’Betapa indahnya, wahai suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku!’ Dia hanya menjawab, dengan senyum dinginnya: ’Tidak ada alasan bagi kita untuk saling berciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini.’

Dan kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling mencintai, mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang indah. Aku membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau botol yang tersegel rapat.

Suatu malam (kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena sakit kepala, Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri jalan di pinggir danau itu.

Malam itu berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak muncul di atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan mahkota warna perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang berkilauan. Udara begitu lembut, dengan kehangatan yang merasukiku sampai seperti mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa pun. Tetapi, betapa peka, betapa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan emosiku semakin kuat.

Aku duduk di atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan itu, seolah-olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan cinta yang tak terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang hidupku. Apa! Tidakkah menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang kucintai, dengan tangan saling berpelukan dan mulut saling berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah bibirku mengecap dalamnya ciuman yang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan Tuhan untuk dinikmati? Apakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam bayang-bayang cahaya bulan di malam musim panas ini?

Lalu tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakangku. Dan seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepalaku, dia mengenaliku dan berkata, ’Kamu menangis, nyonya?’

Dialah pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Matanya seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Kujawab saja bahwa aku sedang sakit.

Dia berjalan di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicara kepadaku tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam kata-kata. Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan sempurna, lebih baik dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat, aku terpesona dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan cahaya bulan tengah bernyanyi untukku.

Lalu terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi.
Aku tidak bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perjalanannya lagi. Dia memberiku sebuah kartu!”

Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menangis sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan lembut, “Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu.” ***

Judul asli “Moonlight” karya Guy de Maupassant.
Cerpen ini diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi, penulis dan pengelola penerbitan di Jogja.
Guy de Maupassant adalah cerpenis kelahiran Chateau de Miromesniel, Dieppe pada 5 Agustus 1850. Selama hidupnya, dia telah menulis lebih dari 300 cerita pendek, enam novel, tiga buku perjalanan, dan sebuah kumpulan puisi. Maupassant sudah menderita sifilis semenjak usia 20 tahun. Pada 2 Januari 1892, dia berusaha bunuh diri dengan menusuk tenggorokannya sendiri. Dia meninggal pada 6 Juli 1893.

“Kegembiraan”, short story by Anton Chekov

Sudah jam 12 Malam

Mitya Kuldarov, dengan wajah gembira namun rambut kusut, masuk ke dalam flat orang tuanya, dan buru-buru berlari melalui semua kamar. Orang tuanya sudah besiap-siap untuk tidur. Saudara perempuannya sudah berada di atas tempat tidur, menyelesaikan halaman terakhir novel. Saudara laki-laki satu sekolah nya sudah tidur.

“Darimana kau datang?” teriak orang tuanya dengan takjub. “Apa yang terjadi?”

“Duh, nggak usah tanya! Aku tidak pernah mengharapkannya; tidak, saya tidak pernah mengharapkannya! Ini…ini betul-betul luar biasa!

Mitya tertawa dan menghempaskan diri ke lengan kursi, dirinya penuh kebahagiaan hingga tidak bisa berdiri di atas kakinya.

“Ini luar biasa! Kalian tidak bisa membayangkan! Lihat!”

Adik perempuannya melompat dari tempat tidur dan, melemparkan selimut dan menghampirinya. Adik-adik lainnya terbangun.

“Ada apa sih? Kau terlihat tidak seperti dirimu sendiri!”

“Itu karena aku sangat senang, Ma! Apakah kau tahu, sekarang semua orang Rusia tahu tentang saya! Semua orang Rusia! Sebelumnya hanya kau yang tahu seorang petugas administrasi yang bernama Dmitry Kuldarov, tapi sekarang semua orang Rusia sudah mengetahuinya! Ibu! Oh, Tuhan! ”

Mitya melompat, berlari keluar masuk ke semua kamar, dan kemudian duduk lagi.

“Kenapa, apa yang terjadi? Beritahu kami detilnya!”

“Itulah kalian hidup seperti binatang buas, tidak pernah membaca koran dan tidak memperhatikan apa yang dipublikasikan, padahal ada begitu banyak hal-hal penting di dalam koran. Jika ada sesuatu yang terjadi semua orang bisa tahu dalam seketika, tidak ada yang disembunyikan! Alangkah bahagianya aku! Oh, Tuhan! Kau tahu harusnya orang merayakan orang-orang yang namanya dipublikasikan di koran, dan sekarang mereka telah membuatku terkenal! ”

“Apa maksudmu? Dimana?”

Sang ayah berubah pucat. Sang ibu melirik gambar suci dan membuat tanda salib. Adik-adik kecil berlompatan dari tempat tidur sebagaimana kebiasaan mereka dan, masih mengenakan kaus malam yang pendek, mendekati kakak sulung mereka.
“Ya! Nama saya telah diterbitkan! Sekarang semua orang-orang Rusia tahu tentang saya! Simpan koran ini bu, ada kenangannya. Kadang-kadang suatu saat kita akan membacanya kembali! Lihat!”
Mitya menarik salinan koran dari sakunya, memberikannya kepada ayahnya, dan menunjuk dengan jarinya ke bagian yang ditandai dengan pensil biru.
“Bacalah!”
Sang ayah mengenakan kacamatanya.
“Ayo bacalah!”
Sang ibu melirik gambar suci dan membuat tanda salib. Papa yang berdehem dan mulai membaca: “… Pada pukul sebelas malam tanggal 29 Desember, petugas pendaftaran bernama Dmitry Kuldarov”
“Betul kan, betul kan! Lanjutkan!”
“… seorang petugas pendaftaran bernama Dmitry Kuldarov, keluar dari  dalam bar di gedung Kozihin di Little Bronnaia dalam kondisi mabuk…”
“Itu aku dan Semyon Petrovitch…. Ini semua dijelaskan secara persis! Lanjutkan! Dengarkan!”
“.. ‘dalam kondisi mabuk, ia terpeleset dan jatuh di bawah kuda dalam pengendali kereta luncur, milik seorang petani dari desa Durikino di distrik Yuhnovsky, bernama Ivan Drotov. Kuda yang ketakutan, melangkahi Kuldarov dan menyeret kereta luncur di atasnya, bersamaan dengan itu seorang pedagang Moskow dari serikat kedua bernama Stepan Lukov, orang yang berada di dalamnya, terseret di sepanjang jalan dan tertangkap oleh beberapa kuli rumah. Kuldarov, pada awalnya dalam kondisi tak sadarkan diri, dibawa ke kantor polisi dan diperiksa oleh dokter. Benturan yang dialaminya pada bagian belakang kepalanya… ”
“Masih setengah, ayah. Ayo! Baca sisanya!”
“… benturan yang dialami di bagian belakang kepalanya ternyata tidak serius. Kecelakaan itu telah dibuat laporannya. Bantuan medis telah diberikan kepada orang yang terluka….”

“Mereka mengatakan kepada saya untuk membasahi bagian belakang kepala saya dengan air dingin. Anda telah membaca sekarang? Ah! Jadi Anda lihat. Sekarang tersebar di seluruh Rusia! Berikan sini!”

Mitya merebut kertas, melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku.

“Saya akan ke Makarovs dan menunjukkan kepada mereka…. Saya harus menunjukkan kepada Ivanitskys juga, Natasya Ivanovna, dan Anisim Vassilyitch…. Saya harus bergegas! Selamat tinggal!”

Mitya mengenakan topi dengan simpul pita, dengan penuh keriangan dan penuh kemenangan, berlari ke jalan.

“Pergi”, short story by Anton Chekov

Makan siang sudah selesai. Sang perut sudah merasakan kenikmatan alakadarnya, sang mulut menguap-nguap, dan sang mata mulai memincing akibat kantuk yang manis. Sang suami merokok cerutu, menggeliat, lalu menggolekkan badan di balai-balai. Sang istri duduk di dekat bagian atas kepala, bersenandung…Keduanya merasa bahagia.

“Coba kau cerita…,” kata sang suami menguap.

“Cerita apa? Mm… O, ya! Kau sudah dengar belum? Sofie Okurkova kawin dengan si itu….siapa namanya…dengan Von Tramb! Betul-betul skandal!”

“Apanya yang skandal?”

“Tramb itu kan bangsat? Bajingan macam begitu…manusia tak tahu malu macam begitu! Tak kenal prinsip sama sekali! Orang cacat jiwa! Ia tadinya pengawas tanah graaf, tetapi kemudian main sikat; sekarang kerja di kereta api, dan di situ jadi koruptor. Saudara perempuan sendiri dirampoknya….Singkat kata: bajingan dan pencuri. Kawin dengan orang seperti itu?! Hidup dengannya?! Mengherankan! Gadis yang begitu berakhlak dan…nah, itulah! Kalau aku, tak bakalan aku kawin dengan orang macam itu! Biarpun ia seorang miliarder! Biarpun ia tampan entah seperti apa, aku ludahi barangkali dia! Membayangkan punya suami bajingan saja aku tak bisa!”

Sang istri melompat dari balai-balai, lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu dengan marah, dengan muka merah. Matanya menyala karena marah…Tampak sekali hatinya tulus dalam hal itu.

“Tramb itu makhluk keparat. Seribu kali bodoh dan keji perempuan yang mau kawin dengan tuan-tuan seperti itu!”

“Begitu…Jadi kau tentu tak bakalan kawin dengan dia…Ya…tetapi bagaimana kalau, misalnya, sekarang kau tahu bahwa aku juga..bajingan?…Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku? Aku tinggalkan kamu! Satu detik pun aku tak akan tinggal denganmu! Aku hanya dapat mencintai orang yang jujur! Begitu aku tahu kamu korupsi, biarpun seperseratus dari yang dilakuakn oleh Tramb itu, aku…kontan bilang adieu.”

“Begitu…Hm…Betul-betul engkau ini..Aku sungguh tak tahu..He-he-he..Ah, engkau berbohong, tetapi bisa saja mukamu tak memerah!”

“Belum pernah aku berbohong! Cobalah kamu bikin hal yang keji, nanti akan kamu lihat!”

“Buat apa aku mencoba? Kau tahu sendiri…Aku tidak lebih bersih dari Von Tramb-mu itu..! Tramb itu dapat dibandingkan dengan ujung jariku saja. Engkau melotot? Itu mengherankan. (Diam sebentar). Berapa gajiku?”

“Tiga ribu setahun.”

“Lalu berapa harga kalung yang kubeli untukmu seminggu yang lalu? Dua ribu.. betul, kan? Gaun kemarin lima ratus..Bungalo dua ribu…He-he-he..kemarin papamu merengek minta dariku seribu…”

“Tetapi pemasukan sampingan itu, Pierre….”

“Kuda-kuda itu..Dokter keluarga..Rekening modiste. Tiga hari engkau kalah main seratus..”

Sang suami bangkit sedikit, menyangga kepala dengan kedua tinjunya, lalu membacakan satu surat tuduhan. Kemudian ia mendekati meja tulis dan menujukkan kepada istrinya beberapa bukti bendawi…

“Sekarang engkau lihat sendiri, Von Tramb-mu itu cuma tokoh kecil, sekedar pencopet dibandingkan aku…Adieu! Pergi sana, dan jangan mengritik lagi!”

Saya sampai di sini saja. barangkali pembaca akan bertanya:

“Apakah sang istri meninggalkan suaminya?”

Ya, ia pergi..ke kamar lain.

“Sebuah Karya Seni”, short story by Anton Chekov

Sembari mengepit bungkusan ‘Stock Exchange Gasette’ Nomor 223 dengan hati-hati, Sasha Smirnov (seorang anak tunggal) bersungut-sungut memasuki kamar praktek dokter Koshelkov.

“Wah, kawan muda saya!” dokter itu menyambutnya.

“Apa kabar? Baik-baik saja kan?”

Sasha mengerjap-erjapkan matanya, meletakkan tangannya pada dada dan dengan suara bergetar penuh emosi ia berkata, “Ibu titip salam, Dok, dan saya disuruh menyampaikan rasa terima kasihnya… saya anak tunggal ibu dan dokter telah menyelamatkan nyawa saya –mengobati saya dari penyakit yang berbahaya… dan ibu dan saya sebenarnya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada dokter.”

“Sudahlah, Nak,” potong dokter itu, tersenyum gembira. “Siapa pun akan berbuat serupa dalam keadaan demikian.”

“Saya, tentu saja tak mampu membayar ongkos pengobatan dokter… dan kami merasa sangat tidak enak memikirkan hal itu, Dok. Tapi biar bagaimanapun, kami –ibu dan saya, yah, satu-satunya yang dimilikinya di dunia ini—sangat bermohon sudilah kiranya dokter menerima ini sebagai sekedar imbalan bagi budi baik dokter… barang ini, yang… ini sungguh patung perunggu yang amat berharga. Betul-betul sebuah karya seni yang indah.”

“Tidak, sungguh,” kata dokter itu mengernyitkan dahi. “Tak mungkin aku bisa menerimanya.”

“Ya, ya, dokter harus menerimanya,” Sasha bersungut-sungut sementara ia membuka bungkusan itu.

“Kalau dokter menolak, kami akan sangat terhina, ibu dan saya… ini sungguh barang yang indah… Sebuah patung perunggu antik… Barang ini kami miliki sejak ayah meninggal dan kami menyimpannya sebagai barang kenangan yang berharga… Ayah memang biasa membeli barang-barang antik dan menyimpannya sebagai barang koleksi seni. Sekarang inu dan saya sudah punya usaha lain….”

Selesai membuka bungkusan itu Sasha dengan bangga menaruhnya di atas meja. Berbentuk tempat lilin yang indah mungil terbuat dari perunggu. Di atasnya terdapat dua patung perempuan dalam keadaan alami dan dalam sikap yang saya tak berani untuk melukiskannya. Kedua pigur itu tersenyum dengan lirikan mata yang merangsang. Pendek kata rupanya dimaksudkan bukan sekedar untuk menghias tempat lilin itu tetapi lebih lagi kedua patung itu bisa-bisa melompat dari tempatnya kemudian menjadikan kamar itu sebagai sebuah pemandangan yang menggoda pikiran untuk mengkhayalkan yang bukan-bukan. Para pembaca yang budiman mungkin saja akan dibuat merah mukanya oleh patung itu.

Setelah lama memperhatikan kehadiran tempat lilin berpatung dua gadis telanjang itu, dokter itu perlahan-lahan menggaruk-garuk bagian belakang telinganya, menelan air liur dan mendengus dengan kacau.

“Ya, memang betul-betul barang yang indah,” ia bergumam, “tapi, yah, bagaimana pula aku harus menyimpannya…? Bagaimana pun orang tak bisa sepenuhnya menganggapnya ini sebagai barang yang menerbitkan selera. Maksudku sesuatu yang telanjang, namun yang ini sih sudah benar-benar terlalu… hmmmm.”

“Apa maksud Dokter, terlalu?”

“Bicara mengenai barangnya sendiri, semua orang tak dapat menyangkal keindahannya. Tapi jika aku disuruh memajang barang semacam itu di atas meja, maka aku akan merasa seperti telah mengotori seluruh rumah.”

“Alangkah anehnya pandangan seni dokter!” ucap Sasha dengan suara terluka.

“Ini kan hasil inspirasi! Perhatikan seluruhnya begitu indah. Bukankah keindahannya memberikan rasa kagum dan nikmat yang tak terperikan kepada dokter? Dokter pasti akan lupa pada segala yang berharga lainnya begitu dokter menikmati keindahan tempat lilin yang begini mengagumkan… Nah, perhatikanlah sejenak, gaya dan ekspresinya!”

“Aku menghargai kebagusannya, kawanku,” kata dokter itu bertahan, “tapi kau lupa aku ini seorang kepala rumah tangga. Jadi pikirkanlah betapa anak-anakku yang masih kecil itu akan menanggapinya, pikirkanlah pula betapa reaksi para perempuan terhormat itu.”

“Benar, jika dokter memandangnya dari kacamata orang banyak,” kata Sasha. “Tentu saja karya seni yang sedemikian tinggi mutunya ini akan tampak tak ada artinya. Tapi dokter harus mengangkat selera seni dokter jauh di atas selera orang kebanyakan. Khususnya ibu dan saya pasti akan merasa sangat terhina apabila dokter menampiknya. Saya satu-satunya anak ibu –dokter telah menyelamatkan hidup saya. Kami menyerahkan kepada dokter milik kami satu-satunya yang paling berharga… dan satu-satunya penyesalan saya ialah bahwa kami tidak mempunyai sesuatu yang sepadan dengan kebajikan dokter….”

“Terima kasih, anakku sayang, aku sungguh amat berterima kasih… Sampaikanlah kepada ibumu salam terima kasihku, tapi coba tolong kau tempatkan dirimu sebagai aku –pikirkanlah anak-anakku yang bersliweran itu, pikirkanlah para perempuan terhormat itu. Oh, baiklah kalau begitu, taruh saja barang itu di sana! Kupikir aku tak akan bisa meyakinkanmu.”

“Tak perlu saya diyakinkan lagi,” sahut Sasha gembira. “Dokter harus meletakkan tempat lilin itu di sini, di dekat jambangan bunga. Tapi alangkah sayangnya barang ini tidak punya pasangannya! Sungguh sayang sekali! Saya permisi pulang saja, Dok, kalau begitu!”

Sesudah Sasha pulang, lama sekali dokter itu mengamati tempat lilin itu, menggaruk-garuk bagian belakang telinganya dan menimbang-nimbangnya.

“Sebuah karya seni yang luar biasa, tiada duanya,” pikirnya. “Dan memalukan untuk membiarkannya begitu saja… Tapi bagaimana mungkin aku memajangnya di sana… Hmmm, betul-betul sulit! Lalu akan kuberikan atau kutitipkan kepada siapa?”

Setelah lama menimbang-nimbang sang dokter itu pun teringat kepada seorang kawan kentalnya Uhov, seorang pengacara. Ia merasa berhutang budi atas pelayanannya yang professional.

“Ya, itulah jawabannya,” dokter itu memutuskan. “Sebagai sahabat adalah kurang hormat baginya menerima uang dariku. Tapi jika aku memberinya hadiah barang, itulah baru comme il fault. Ya, aku akan memberikan kepadanya karya seni yang istimewa ini. Bagaimanapun, ia seorang bujangan, hidupnya easy going.”

Tanpa pikir panjang lagi dokter itu kemudian mengenakan topi dan mantelnya, mengambil tempat lilin itu dan bergegas ke rumah Uhov.

“Bagaimana kabarmu, teman!” serunya, begitu ia sampai di rumah itu. “Aku datang untuk menemui Anda… Terima kasih untuk segala pertolongan yang telah kau berikan kepadaku selama ini…. Aku tahu kau tak suka uang sehingga kau harus setidaknya menerima hal ini di sini…. Lihat, sahabatku karya seni ini…. Hal yang luar biasa! “

Tatkala pengacara itu melihat benda kecil itu ia segera menerimanya dengan gembira.

“Oh, benar-benar luar biasa!” ia tertawa. “Bagaimana mereka bisa menciptakan karya seindah ini? Hebat luar biasa! Menggairahkan! Dari mana kau peroleh benda yang semahal permata ini?”

Setelah capai menyatakan kegembiraannya, pengacara itu tampak malu-malu menuju pintu dan berkata: “…….. Hanya saja tolong berbuat baik sedikit kepadaku dan bawalah benda ini kembali, tidak keberatan kan? Aku tak dapat menerimanya….”

“Kenapa?” ucap dokter itu bingung.

“Alasannya jelas banyak… Pikirkanlah ibuku yang sebentar lagi akan masuk ke sini, pikirkan juga klien-klienku… Dan bagaimana pula aku bisa melihat muka-muka merah padam pembantu-pembantuku?”

“Omong kosong Omong kosong! Jangan sekali-kali kau ngotot menolaknya!” kata dokter, itu seraya tangannya menolak ke arahnya. “Itu namanya kau kurang tahu adat! Ini sebuah karya seni hasil sebuah inspirasi. Lihat saja gerak garis-garisnya… ekspresinya… Jangan macam-macam lagi, kecuali kalau kau menghinaku?”

“Jika saja benda ini bisa dilumatkan atau berbentuk daun ara yang bisa dilipat….”

Akan tetapi dokter itu menolak dengan menggerak-gerakkan tangannya dengan cepat, sejurus kemudian dengan gesit menyelinap keluar dari apartemen itu dan terus pulang. Bersyukur sekali ia telah berhasil melepaskan barang itu dari tangannya….

Ketika temannya sudah pergi, sang pengacara mengamat-amati tempat lilin itu, merabanya, dan kemudian, seperti dokter itu, memeras otak tentang apa yang harus dilakukannya dengan batang itu.

“Suatu karya seni yang indah,” pikirnya, “dan menjadi sayang untuk membuangnya begitu saja. Tapi menyimpannya di sini amat tidak senonoh. Hal terbaik adalah menjadikannya barang hadiah untuk seseorang….. Aku tahu apa yang akan kulakukan! Aku akan bawa malam ini untuk Shashkin, si badut panggung. Komedian bajingan ini menyukai hal-hal seperti ini dan ia pasti menyukai barang semacam ini.”

Setelah itu ia pun berangkat melaksanakan maksudnya. Pada malam itu tempat lilin dibungkus dengan hati-hati, dan dihadiahkan kepada aktor badut Shashkin. Sepanjang malam, kamar rias itu dipenuhi hiruk-pikuk puji-pujian penuh antusiasme dan tawa bagaikan kuda meringkik. Ketika salah satu aktris mengetuk pintu dan minta permisi masuk, “Boleh saya masuk?” suara serak badut  itu terdengar sekaligus,”Tidak, tidak, sayangku, saya tidak berpakaian!”

Setelah pertunjukan komedian mengangkat bahu dan kedua tangannya, kebingungan dan berkata, “Mau kuletakkan di mana benda cabul ini? Bagaimanapun aku kan tinggal di apartemen pribadi –pikirkanlah aktris-aktris yang berdatangan mengunjungiku nanti! Ini kan bukan potret yang bisa disimpan di dalam laci!”

“Anda lebih baik menjualnya, Tuan,” saran penata rambut yang yan membantunya melepaskan pakaian. “Ada seorang perempuan tua yang tinggal di sini yang suka membeli patung perunggu antik semacam ini. Hubungi saja Nyonya Smirnov… Semua orang tahu dia.”

Sang aktor mengikuti nasihatnya. . . . Dua hari kemudian dokter Koshelkov sedang duduk di ruang prakteknya, dan dengan jemari menempel di kening dan sedang mempelajari tentang asam empedu. Tiba-tiba pintu terbuka dan Sasha Smirnov tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. Dia tersenyum, matanya berbinar-binar, seluruh kehadirannya mengekspresikan kebahagiaan. Tangannya memegang sesuatu yang terbungkus kertas koran

“Dokter!” ia memulai, nafasnya terengah-engah, “Saya sangat gembira! Dokter tak akan percaya betapa dokter beruntung –kami kebetulan menemukan tempat lilin pasangan milik dokter… Ibu gemetar terharu menemukannya. Saya satu-satunya anak ibu, yang nyawanya telah diselamatkan oleh dokter.

Dan Sasha, dengan penuh rasa syukur meletakkan tempat lilin itu di muka sang dokter. Mulut dokter itu tersekat, ia mencoba untuk mengatakan sesuatu, namun tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Ia tidak bisa bicara apa-apa lagi.

NB :

Cerita Pendek (cerpen) Sebuah Karya Seni, karya Anton Chekhov ini, terjemahan dari A Work of Art (1886). Termaktub dalam antologi cerpen Anton Chekhov: The Early Stories 1883-1888, dengan editor Patrick Miles dan Harvey Pitcher. Diterbitkan oleh Macmillan Publishing, New York, pada 1982.

“Harga Seuntai Kalung”, short story by Guy de Maupasant

Dia adalah salah satu di antara sekian gadis cantik dan menarik yang, terkadang karena kesalahan takdir, terlahir di tengah keluarga juru tulis. Dia tidak memiliki mas kawin, harapan-harapan, sarana untuk terkenal, dipahami, dicintai, atau dinikahi oleh seorang pria kaya dan terhormat. Dan dia pasrah hanya dinikahi oleh seorang juru tulis biasa yang bekerja di Kementerian Penerangan.

Dandanannya sederhana saja karena dia memang tidak bisa berdandan lebih bagus lagi. Tapi dia bersedih seakan-akan dirinya memang sungguh-sungguh terjatuh dari statusnya yang semestinya, karena dia menjadi seperti wanita kebanyakan pada umumnya.

Dia tak pernah berhenti merasa menderita, dia merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati segala keempukan dan kemewahan. Dia menderita karena rumahnya yang sangat sederhana, dindingnya yang buruk, kursi-kursi yang sudah usang, dan tirai-tirai yang sudah jelek. Segala hal itu, yang bagi wanita lain yang sederajat dengannya dianggap biasa saja, telah membuatnya sangat kesal.

Dia melamunkan ruang depan yang tenang, di mana dinding-dindingnya dipasangi permadani oriental, serta diterangi dengan kandil perunggu yang panjang. Dan juga adanya dua orang pelayan bertubuh kekar bercelana pendek yang tertidur di kursi-kursi berlengan. Mereka terkantuk oleh kehangatan udara dari perapian.

Dia pun melamunkan ruang tamu panjang yang dihiasi sutera kuno, mebel-mebel yang antik, dan kamar rias yang semerbak dengan aroma wewangian yang menggoda untuk tempat bercengkerama setiap pukul lima sore dengan teman-teman dekat, atau dengan pria-pria terkenal dan digandrungi, di mana wanita-wanita yang lain akan merasa cemburu karena ingin mendapat perhatian seperti itu juga.

Tiga hari yang lalu ketika sedang duduk makan malam di depan meja bundar yang berlapis taplak, di depan suaminya yang  membuka mangkuk sup dan berkata penuh kekaguman, “Ah, daging sup yang lezat! Tak ada yang lebih enak daripada ini”. Wanita itu justru sedang melamunkan makan malam yang mewah, peralatan makan dari perak yang berkilau, permadani yang memenuhi dinding dengan gambar tokoh-tokoh terkemuka dari masa lalu dan burung-burung aneh yang beterbangan di antara rimbunnya hutan yang ada di negeri dongeng. Dia pun melamunkan hidangan-hidangan lezat yang disajikan di piring yang elok, dan mendengarkan bisikan-bisikan menggoda sambil mengulum senyum ketika sedang menyantap daging ikan trout yang berwarna pink atau sayap burung puyuh.

Dia tidak memiliki gaun-gaun, perhiasan-perhiasan, tidak memiliki apa-apa. Dan tak ada yang disukainya kecuali itu, dia merasa dirinya adalah untuk itu. Dia begitu ingin dirinya bahagia, dicemburui, menarik, dan membuat orang lain tergila-gila.

Dulu ketika masih bersekolah di biara dia memiliki seorang teman yang kaya. Tapi dia tidak mau lagi mengunjunginya, karena dia begitu merasa menderita setelah pulang dari rumah temannya itu.

Namun suatu sore suaminya pulang ke rumah dengan perasaan penuh kemenangan dan membawa sebuah amplop besar di tangannya.

“Ini,” katanya. “Ada sesuatu untukmu.”

Wanita itu segera merobeknya dan menarik selembar kartu bertuliskan:

Menteri Penerangan dan Nyonya Georges Ramponneau dengan hormat mengundang Tuan dan Nyonya Loisel di Gedung Kementerian pada hari Senin sore tanggal delapan belas Januari.

Bukannya gembira seperti yang diharapkan oleh suaminya, tapi malah dilemparkannya undangan itu begitu saja di atas meja. Dengan suara lirih dia berkata:

“Apa yang kau inginkan dariku dengan undangan itu?”

“Tetapi, Sayang, kupikir kau akan senang. Kau kan tidak pernah pergi-pergi, dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku telah bersusah payah mendapatkannya. Setiap orang ingin datang, ini sangat diseleksi, dan mereka tidak memberikan banyak undangan untuk para juru tulis. Semua pejabat akan hadir di sana.”

Dia memandang suaminya dengan tatapan pedih dan berkata dengan gusar:

“Dan menurutmu aku harus memakai apa?”

Suaminya tidak terpikir ke situ, ia berkata dengan gagap:

“Kenapa, gaun yang dulu kau pakai ke teater, bagiku gaun itu cukup bagus.”

Suaminya terdiam, bingung, melihat istrinya menangis. Air matanya jatuh dari kedua ujung matanya dan mengalir perlahan-lahan sampai ke ujung mulutnya. Suaminya berkata gagap:

“Ada apa? Ada apa?”

Tapi dengan usaha yang keras wanita itu segera dapat mengatasi kesedihannya, dan dia menjawab dengan suara yang tenang sambil menyapu kedua belah pipinya yang basah:

“Tak apa-apa. Hanya aku tidak punya gaun dan oleh sebab itu aku tidak bisa berangkat ke pesta. Berikan saja undangan itu kepada salah seorang di antara teman-temanmu yang istrinya lebih baik dandanannya daripada aku.”

Suaminya putus asa. Ia melanjutkan:

“Ayo kita bahas, Mathilde. Berapa harganya sebuah gaun yang pantas, yang nanti bisa kau pakai lagi untuk kesempatan lainnya, gampang kan?”

Istrinya berpikir beberapa detik, membuat kalkulasi harga sambil memperkirakan jumlah yang dapat diajukannya. Jumlah yang dapat diterima serta tidak mengejutkan untuk perekonomian seorang juru tulis.

Akhirnya dia berkata dengan ragu-ragu:

“Aku tidak tahu pasti, tapi kurasa aku bisa mengatasinya dengan empat ratus franc.”

Suaminya agak pucat, karena ia sendiri telah menyisihkan uang sejumlah itu untuk membeli sebuah bedil yang akan digunakannya berburu di musim panas nanti di dataran Nanterre dengan beberapa orang teman yang pada hari Ahad lalu menembak burung-burung lark di sana bersamanya.

Tapi ia berkata:

“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus franc. Dan usahakan untuk mendapat sebuah gaun yang cantik.”

Hari penyelenggaraan pesta itu sudah semakin dekat, tapi Nyonya Loisel tampak murung dan gelisah. Padahal gaunnya sudah siap. Suatu sore suaminya berkata kepadanya:

“Ada apa? Ayolah, kau kelihatan begitu ganjil tiga hari terakhir ini.”

Istrinya menjawab:

“Aku bingung karena tidak memiliki sebuah perhiasan pun, tidak ada sebutir permata, tidak ada yang bisa dipakai. Aku akan kelihatan payah sekali. Lebih baik tidak usah pergi saja.”

Suaminya berkata:

“Kau bisa memakai hiasan dari bunga-bunga alami. Tahun ini hal itu sedang jadi mode. Dengan sepuluh franc kau bisa memperoleh dua atau tiga bunga mawar yang indah.”

Tapi istrinya tidak bisa diyakinkan.

“Tidak, tak ada yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara wanita-wanita lain yang kaya.”

Tapi suaminya berseru:

“Bodohnya kamu! Pergilah ke rumah temanmu, Nyonya Forestier, dan mintalah kepadanya untuk meminjamimu beberapa perhiasan. Kau cukup akrab dengannya untuk melakukan itu.”

Wanita itu berseru gembira:

“Betul! Aku tak pernah memikirkannya.”

Hari berikutnya dia pergi mengunjungi temannya dan menceritakan kesulitannya.

Nyonya Forestier berjalan ke sebuah lemari pakaian yang berpintu kaca, mengambil sebuah kotak besar berisi perhiasan, membawanya kembali, membukanya, dan berkata kepada Nyonya Loisel:

“Pilihlah, sayangku.”

Pertama kali dipandanginya semua gelang, kemudian seuntai kalung mutiara, lalu salib Venesia, emas dan batu-batu perhiasan hasil karya para seniman yang luar biasa. Dia mencoba perhiasan-perhiasan itu di depan cermin sambil terkagum-kagum. Rasanya dia tak ingin melepasnya lagi, mengembalikannya lagi. Dia selalu bertanya:

“Apakah kau masih punya yang lain?”

“Kenapa, tentu saja. Lihatlah. Aku tak tahu mana yang kausukai.”

Tiba-tiba dia menemukan, di dalam sebuah kotak satin berwarna hitam, seuntai kalung permata yang luar biasa indah, dan jantungnya pun mulai berdebar kencang. Kedua tangannya gemetar saat mengambilnya. Dipasangnya kalung itu ke lehernya, di luar gaunnya yang sampai ke leher. Dan perasaannya terombang-ambing di awang-awang ketika dia menatap dirinya di depan cermin.

Kemudian dia meminta dengan ragu dan memelas:

“Dapatkah kau meminjamkan yang ini, hanya yang ini saja?”

“Kenapa? Ya, tentu saja.”

Dia melompat meraih leher temannya, menciuminya penuh nafsu, lalu berlari dengan perhiasannya.

Hari pesta itu pun tiba. Nyonya Loisel meraih kemenangan besar. Dia adalah satu-satunya wanita tercantik di antara mereka semua. Anggun, sangat ramah, selalu tersenyum dan sangat gembira. Semua pria meliriknya, menanyakan namanya, dan berusaha berkenalan. Semua atase kabinet ingin berdansa dengannya. Bahkan menteri sendiri juga mengajaknya berdansa.

Dia berdansa dengan penuh suka cita. Melupakan semuanya, dalam keunggulan kecantikannya, kesuksesan yang gemilang, serta kegembiraan yang terdiri atas segala pujian, segala kekaguman, segala keinginan yang terbangkitkan, dan atas perasaan kemenangan yang sempurna yang begitu manis dalam hati seorang wanita.

Dia baru selesai sekitar pukul empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam tadi di sebuah ruang depan yang sepi bersama tiga orang pria lainnya yang istri-istri mereka juga bersenang-senang. Pria itu lalu melampirkan selembar selendang yang telah dibawanya sejak tadi ke bahu istrinya, selendang biasa saja, yang mana saking sederhananya sangat kontras dengan gaun pesta yang dipakainya. Wanita itu merasakannya, dan ingin menghindar sehingga dirinya tidak menjadi bahan pembicaraan wanita-wanita lain yang membungkus tubuh-tubuh mereka dengan mantel bulu yang mahal.

Loisel menahan punggung istrinya.

“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan pergi memanggil sebuah taksi.”

Tapi tak dihiraukannya suaminya, dan dengan cepat dia menuruni tangga. Ketika sudah berada di jalan mereka tidak menemukan kendaraan, dan mereka mulai mencarinya. Mereka berteriak ke arah sopir-sopir taksi yang kendaraannya melaju dari kejauhan.

Mereka berjalan menurun menuju Seine, dalam keputusasaan, menggigil kedinginan. Akhirnya di sebuah dermaga mereka mendapatkan sebuah mobil kuno yang tertutup dan berpintu dua, yang hanya muncul di Paris ketika malam telah turun.

Kendaraan itu mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah di Rue des Martyrs, dan sekali lagi, dengan sedih, mereka berjalan pulang ke rumah. Segalanya telah berakhir, bagi wanita itu. Dan bagi sang suami, ia berpikir bahwa ia sudah harus berada di kementerian pada pukul sepuluh.

Wanita itu melepas selendang yang membungkus bahunya di depan cermin, sehingga sekali lagi ingin melihat dirinya dalam segala kejayaannya. Tapi tiba-tiba dia menjerit. Kalungnya tidak lagi berada di lehernya!

Suaminya yang sedang melepas pakaian bertanya:

“Ada apa denganmu?”

Dengan perasaan panik dia berpaling ke arah suaminya.

“Aku … aku … aku telah menghilangkan kalungnya Nyonya Forestier.”

Suaminya bangkit, kalut.

“Apa?! Bagaimana? Mustahil!”

Dan mereka berdua mencari di antara lipatan-lipatan gaunnya, dalam lipatan-lipatan mantelnya, dalam dompet-dompetnya, di mana saja. Tapi mereka tidak menemukannya.

Suaminya bertanya:

“Kau yakin tadi masih memakainya ketika meninggalkan pesta?”

“Ya, aku masih merasakannya di ruang depan gedung.”

“Tapi jika kau menghilangkannya di jalan, kita mestinya mendengar bunyinya ketika jatuh. Jangan-jangan di dalam mobil.”

“Ya, mungkin saja. Apakah kau mencatat nomornya?”

“Tidak. Dan kau, apakah kau memperhatikannya?”

“Tidak.”

Bagai disambar petir, mereka saling memandang. Akhirnya Loisel mengenakan kembali pakaiannya.

“Aku akan kembali menelusuri jalan tadi dengan berjalan kaki,” katanya, “ke seluruh rute yang telah kita lalui untuk memeriksa kalau-kalau dapat menemukannya.”

Lalu ia pun pergi ke luar. Sedangkan istrinya menunggu di kursi dengan gaun pestanya, tanpa ada tenaga untuk pergi ke tempat tidur, tak berdaya, tanpa semangat, tanpa pikiran.

Suaminya kembali lagi sekitar pukul tujuh pagi. Ia tidak menemukan apa-apa.

Kemudian laki-laki itu pergi lagi ke kantor-kantor polisi, kantor-kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi siapa yang menemukannya. Ia pergi ke perusahaan-perusahaan taksi, ke mana saja, sesungguhnya, ke mana dirinya terdorong oleh seberkas harapan.

Istrinya menunggu sepanjang hari, dalam kecemasan yang sama seperti sebelum petaka itu terjadi.

Malamnya Loisel pulang dengan lemah dan pucat. Ia kembali tak menemukan apa-apa.

“Kau harus menulis surat kepada temanmu,” katanya, “bahwa kau telah merusak jepitan kalung itu sehingga kau harus membetulkannya. Dengan demikian kita masih punya kesempatan untuk mengembalikannya.”

Dia menulis mengikuti dikte dari suaminya.

Pada akhir dari pekan itu mereka telah kehilangan semua harapan.

Dan Loisel, yang tampak semakin cepat bertambah tua lima tahun, memutuskan:

“Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengganti perhiasan itu.”

Hari berikutnya mereka membawa kotak kalung itu menuju ke toko perhiasan yang namanya tercantum di kotak itu. Pemilik toko tadi kemudian memeriksa catatannya.

“Bukan saya yang menjual kalung itu, Nyonya.”

Kemudian mereka pergi dari satu toko perhiasan menuju ke toko perhiasan yang lain untuk mencari kalung seperti itu. Mereka berdua saling mencocokkan ingatan masing-masing satu sama lain. Keduanya merasa tersiksa dan menderita.

Akhirnya di sebuah toko di Palais Royal mereka menemukan seuntai kalung permata yang benar-benar mirip dengan yang mereka cari. Kalung itu berharga empat puluh ribu franc. Mereka bisa menawarnya sampai tiga puluh enam ribu.

Mereka meminta kepada penjual kalung itu untuk tidak menjualnya kepada orang lain selama tiga hari ini. Dan mereka menawarkan bahwa si penjual tadi bisa membeli kembali kalungnya seharga tiga puluh empat ribu franc seandainya mereka berdua bisa menemukan kalung yang hilang sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan belas ribu franc dari peninggalan ayahnya. Ia harus meminjam sisanya.

Ia pun mencari pinjaman. Meminta seribu franc dari seseorang, lima ratus franc dari yang lainnya, lima louis di sini, tiga louis di sana. Ia memberi surat utang, mengambil utang-utang yang berbunga tinggi, membuat persetujuan dengan para rentenir dan semua orang yang biasa meminjamkan uang. Ia mempertaruhkan sisa hidupnya, mempertaruhkan tanda-tangannya tanpa mengetahui apakah ia nanti mampu memenuhi janjinya atau tidak. Tanpa menyadari halangan dan musibah yang akan menimpanya, dan kemungkinan tekanan-tekanan batin yang harus ditanggungnya. Ia pergi untuk memperoleh kalung yang baru, membayar dulu kepada penjualnya tiga puluh enam ribu franc.

Ketika Nyonya Loisel mengembalikan kalung itu, Nyonya Forestier berkata dingin kepadanya:

“Seharusnya kau kembalikan lebih cepat, mungkin aku akan memakainya.”

Dia tidak membuka kotaknya, karena temannya tampak begitu ketakutan. Seandainya dia mengetahui penggantian itu, apa yang akan dipikirnya, apa yang akan dikatakannya? Apakah dia tidak akan menuduh Nyonya Loisel sebagai pencuri?

Kini Nyonya Loisel mengerti betapa mengerikannya kemiskinan. Dia terjun ambil bagian, dengan tiba-tiba, secara heroik. Utang-utang yang mengerikan itu harus dibayar. Dan dia akan membayarnya. Mereka memulangkan pembantu, mengubah tata ruang tempat tinggal mereka dan menyewakan ruangan di loteng.

Kini dia merasakan betapa beratnya pekerjaan rumah tangga dan merawat dapur yang kotor. Dia mencuci peralatan makan, dengan kuku-kukunya yang kemerahan pada panci dan periuk yang berminyak. Dia mencuci kain-kain kotor, baju-baju dan lap-lap, yang kemudian dijemur pada seutas tali. Dia membuang air limbah setiap pagi ke jalanan, lalu mengambil air bersih, kemudian berhenti untuk menarik napas setiap kali sampai. Dan, berdandan seperti wanita kebanyakan pada umumnya. Dia pergi berbelanja ke tukang buah, grosir, tukang daging, membawa keranjang, melakukan tawar-menawar, menahan hinaan, mempertahankan uangnya yang sedikit sou demi sou.

Setiap bulan mereka harus melunasi beberapa utang dan mencari pinjaman yang lain lagi, mengulur waktu.

Suaminya pada petang hari bekerja membuat salinan untuk beberapa catatan dari pedagang, dan pada larut malam ia sering menyalin berkas-berkas dengan upah lima sou per lembar.

Dan kehidupan seperti ini berakhir setelah sepuluh tahun. Dan sesudah sepuluh tahun berlalu, mereka telah membayar semuanya, semua utang dengan bunga-bunganya.

Nyonya Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dari kalangan biasa. Kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut tak teratur rapi, rok miring, dan tangan yang merah. Dia berbicara dengan lantang ketika sedang membersihkan lantai di antara gemericiknya bunyi air. Namun terkadang, ketika suaminya sedang berada di kantor, dia duduk di samping jendela, dan mengenang malam indah yang telah berlalu dulu. Tentang pesta itu, di mana dirinya begitu cantik dan begitu mempesona.

Apa yang terjadi seandainya dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa kehidupan ini begitu aneh dan mudah berubah-ubah! Betapa mudahnya kita kehilangan sesuatu atau tetap memilikinya!

Namun, pada suatu hari Ahad, ketika sedang berjalan-jalan di Champs Elysees untuk menyegarkan pikirannya dari pekerjaan rutin selama sepekan, dia tiba-tiba mengenali seorang wanita yang sedang membimbing seorang anak kecil. Wanita itu adalah Nyonya Forestier. Dia terlihat masih muda, cantik, dan tetap memikat.

Nyonya Loisel merasakan kepiluan di hatinya. Akankah dia mengajaknya berbicara? Ya, pasti. Dan sekarang karena dirinya telah melunasi semuanya, dia akan menceritakan kepada wanita itu tentang segala yang telah terjadi. Kenapa tidak?

“Selamat sore, Jeanne.”

Wanita yang disapa terperanjat atas keramahan dari seorang ibu rumah tangga yang sederhana itu, bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya. Ia berkata gagap:

“Tapi, Nyonya, saya tidak kenal. Anda pasti keliru?”

“Tidak. Aku adalah Mathilde Loisel.”

Kawannya itu memekik kecil.

“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kenapa kau bisa berubah sampai seperti ini?”

“Ya, aku telah melewati hari-hari yang berat, sejak aku mengunjungimu dulu, hari-hari yang sangat buruk. Dan semua itu karena engkau!”

“Karena aku?! Bagaimana mungkin?”

“Apakah kau masih ingat tentang kalung permata yang telah kau pinjamkan kepadaku dulu untuk pergi ke pesta di kementerian?”

“Ya. Lalu?”

“Yeah, aku menghilangkannya.”

“Apa maksudmu? Bukankah kau telah mengembalikannya?”

“Yang kukembalikan kepadamu dulu itu adalah gantinya yang benar-benar persis dengan itu. Dan untuk itu kami harus membayarnya selama sepuluh tahun. Engkau tentu tahu bahwa hal itu tidaklah mudah bagi kami, kami yang tidak punya apa-apa ini. Akhirnya berlalulah sudah, dan aku sangat senang.”

Nyonya Forestier menghentikan langkahnya.

“Kau mengatakan bahwa kalian telah membeli kalung permata untuk mengganti milikku itu?”

“Ya, dan kau tidak pernah memperhatikannya! Kedua kalung itu memang benar-benar serupa.”

Dia pun tersenyum gembira dengan perasaan bangga dan naif sekaligus.

Nyonya Forestier merasa sangat iba, dipegangnya kedua belah tangan temannya itu.

“Oh, Mathilde-ku yang malang! Mengapa? Kalungku itu hanyalah imitasi. Harganya paling mahal cuma lima ratus franc saja!”

Judul asli: “La Parure” karya Guy de Maupasant. Alih bahasa Syafruddin HASANI.
Sumber : http://safrie.wordpress.com/2009/04/22/harga-seuntai-kalung-the-necklace-oleh-guy-de-maupasant/
GUY DE MAUPASANT (1850-1893) adalah anak seorang pialang saham di Paris. Ia menjadi anak baptis dari Gustav Flaubert yang juga menjadi guru sastranya. Sejak usia tiga puluh tahun kepiawaiannya di bidang cerita pendek sudah mendapat pengakuan.